Grup Bakrie: Peringkat Utang BUMI Memburuk Jadi CCC, Bumi Resources Siapkan 4 Strategi
- Lembaga penilaian kredit S&P baru saja menurunkan peringkat utang emiten batu bara Grup Bakrie, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menjadi CCC dari CCC+ seiring meningkatnya risiko refinancing.
Korporasi
JAKARTA – Lembaga penilaian kredit S&P baru saja menurunkan peringkat utang emiten batu bara Grup Bakrie, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menjadi CCC dari CCC+ seiring meningkatnya risiko refinancing. Selain itu, S&P juga memberi outlook negatif untuk perusahaan Grup Bakrie ini.
Direktur dan Sekretaris Perusahaan Bumi Resources Dileep Srivastava mengatakan pihaknya telah membayar utang senilai total US$365 juta sejak April 2018. Dia juga memperkirakan angsuran pada 18 Oktober 2021 nilainya akan 4-5 kali lipat lebih besar dari angsuran Juli 2021.
“Dunia saat ini tidak sama jika dibandingkan dengan 2017, banyak faktor terkait geopolitik dan pandemi yang berpengaruh,” ujarnya kepada TrenAsia.com, Kamis, 7 Oktober 2021.
- Kembali Dinobatkan jadi Mi Goreng Instan Terenak, Kelezatan 'Micin' Indomie Diakui Dunia
- Targetkan Transaksi Uang Elektronik hingga Rp278 Triliun, Ini Strategi BI
- Ajaib Sekuritas Bantah Tuduhan Penyalahgunaan Data Nasabah
Dileep menjelaskan ada empat strategi yang akan dilakukan Bumi Resources untuk menyelesaikan utang-utangnya. Pertama, menyelesaikan pembayaran utang dengan memanfaatkan harga komoditas yang sedang meningkat (terutama batu bara) dan menyelesaikan utang Tranche A pada akhir 2022.
Kedua, BUMI berencana menukar sisa obligasi wajib konversi (mandatory convertible bonds/MCB) menjadi ekuitas lebih cepat dari tenor asli pada 2024.
Ketiga, BUMI akan refinancing sisa utang dengan biaya lebih rendah dan berusaha mencapai struktur modal ke tingkat optimal dalam dua sampai tiga tahun ke depan.
Keempat, sebagai produsen batu bara terbesar di Indonesia dengan produksi 85 juta ton, BUMI paling diuntungkan dari kenaikan harga batu bara saat ini. Ini pun membawa dampak positif untuk percepatan pembayaran utang, pemotongan beban bunga, kembali laba, dan upaya diversifikasi hilir.
Dalam laporannya, Selasa, 5 Oktober 2021, S&P menyebut risiko refinancing BUMI muncul akibat besaran dividen anak usaha BUMI tidak cukup untuk mengurangi utangnya secara signifikan.
Produsen batu bara PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang menjadi kontributor dividen BUMI terbesar hanya membayar US$42 juta ke BUMI pada semester I-2021. Padahal, EBITDA KPC meningkat 67% menjadi US$254 juta jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Anak usaha pertambangan batu bara BUMI lainnya, PT Arutmin Indonesia, bahkan tidak membayar dividen sama sekali meski memiliki kas US$93 juta dan EBITDA US$68 juta.
S&P pun memperkirakan BUMI akan kesulitan membayar utang Tranche A dan Tranche B yang jatuh tempo pada Desember 2022. Utang tersebut memiliki nilai US$1,2 miliar.
Dalam lima hari perdagangan terakhir, saham BUMI sendiri terkerek 30,3% menjadi Rp86 pada penutupan perdagangan sesi 1, Kamis, 7 Oktober 2021. Harga saham BUMI bahkan sempat menyentuh level Rp98 per saham pada perdagangan kemarin.