caesar prancis.jpg
Dunia

Gunakan Uang Rusia, Prancis Kirim Senjata Senilai Rp5 Triliun ke Ukraina

  • Cadangan devisa Rusia yang dibekukan di luar negeri berjumlah sekitar 270 miliar Euro atau sekitar Rp4.536 triliun

Dunia

Amirudin Zuhri

JAKARTA- Ukraina akan kembali mendapatkan 12 artileri Caesar dan sejumlah senjata penting dari Prancis. Dan senjata itu dibeli dengan menggunakan keuntungan dari aset Rusia yang dibekukan Eropa.

Menteri Pertahanan Prancis Sébastien Lecornu mengatakan baru-baru ini kembali memperoleh 300 juta euro keuntungan dari aset Rusia. Ini sekitar Rp5 triliun (kurs Rp16.765). Uang itu oleh Prancis kemudian digunakan untuk membeli senjumlah senjata yang akan diberikan ke Ukraina. 

“Selain Caesar, senjata yang akan dibeli adalah amunisi 155 mm, rudal Aster, bom dipandu AASM dan rudal Mistral,” kata Lecornu di kutup La Monde Minggu 20 Oktober 2024. 

Satu sisi Ukraina mendapatkan senjata baru. Di sisi lain Prancis juga mendapat keuntungan karena penjualan senjata. Rusia tentu saja menjadi pihak yang paling dikorbankan.

Sejauh ini sekitar 60 meriam Caesar telah dikirim ke Ukraina. Selain Prancis, Portugal juga mengirimkan senjata ini. Sementara sekitar 80 yang lain akan dikirim pada akhir tahun 2024. Ukraina telah kehilangan setidaknya 10% dari howitzer yang dipasang di truk tersebut.  

Menurut produsen Prancis KNDS Nexter penggunaan pesawat nirawak dan amunisi berkeliaran telah menjadi ancaman nyata sejauh 40 kilometer  dari garis depan. Tempat Caesar beroperasi. Namun bobotnya yang relatif ringan yakni sekitar 18 ton dan kemampuannya untuk meninggalkan posisinya dalam waktu kurang dari satu menit menjadikan Caesar disebut lebih mampu bertahan. 

Nexter menilai tingkat kerusakan arteleri di Ukraina sendiri secara umum mencapai 30 persen. Selain meriam Prancis, Ukraina mengoperasikan sistem artileri 155mm termasuk M777 Amerika, PZH 2000 Jerman, Krab Polandia, dan Archer Swedia.

Rp588 Triliun untuk Ukraina

Pembelian senjata oleh Prancis menggunakan uang Rusia ini jelas tidak akan menjadi yang terakhir. Baru minggu lalu Uni Eropa telah sepakat akan memberikan pinjaman ke Ukraina sebesar 35 miliar Euro atau sekitar Rp588 triliun ke Ukraina. 

Pinjaman tersebut selanjutnya akan diangsur dengan pendapatan bunga dari aset Rusia yang dibekukan. Selain untuk senjata, dana akan digunakan untuk membangun kembali infrastruktur Ukraina yang rusak.

Di bagian lain 27 negara anggota Uni Eropa yang lain juga telah memberikan pembiayaan kepada Kyiv pada beberapa kesempatan. Caranya juga sama. Yakni membayar bantuan itu dengan uang yang pada hakikatnya adalah milik Rusia.

Cadangan devisa Rusia yang dibekukan di luar negeri berjumlah sekitar 270 miliar Euro atau sekitar Rp4.536 triliun, Dari jumlah itu 210 miliar Euro dibekukan di Uni Eropa. Keuntungan yang dihasilkan dari aset yang dibekukan di Eropa diperkirakan mencapai 2,5 hingga 3 miliar per tahun. Atau sekitar Rp42 hingga Rp50 triliun per tahun.

Berdasarkan kesepakatan awal yang dicapai pada bulan Juni 2024 G7 secara kolektif akan memberikan Kyiv 45 miliar Euro pada akhir tahun. Uni Eropa dan Amerika masing-masing berencana untuk menyumbang 18 miliar Euro. Pada akhirnya, Uni Eropa mengajukan lebih banyak uang karena Washington membuat syarat keikutsertaannya berupa perpanjangan sanksi Uni Eropa terhadap Moskow. 

Svitlana Taran, seorang peneliti di lembaga pemikir Pusat Kebijakan Eropa yang berpusat di Brussels mengatakan ada risiko pada suatu saat sanksi terhadap aset Rusia tidak akan diperpanjang. “Sehingga aliran pendapatan masa depan dari aset Rusia mungkin terganggu,” katanya.

Sanksi ini diputuskan dengan suara bulat setiap enam bulan. Tetapi Uni Eropa ingin memperbaruinya setiap 3 tahun demi stabilitas yang lebih baik. Amerika juga khawatir bahwa Negara Anggota mana pun yang memblokir sanksi dapat menggagalkan rencana tersebut.

Hungaria telah menyatakan akan menghentikan segala perubahan pada rezim sanksi sampai setelah pemilihan presiden Amerika. Menurut Taran, Hongaria kemudian dapat menggunakan pemblokiran ini sebagai sarana negosiasi di masa depan dengan anggota UE. Dan mungkin juga dengan Presiden Amerika.

Rusia sudah berulang kali memperingatkan Barat agar tidak menyita asetnya.  Dan menyebut langkah itu sebagai bentuk  nyata dari pencurian. Rusia juga membalas dengan menyita banyak aset milik perusahaan Barat yang masih beroperasi di Rusia.

Tetapi menurut Taran perusahaan-perusahaan yang disita itu mungkin tidak mendapat simpati di Barat. Ini karena mereka sebelumnya telah punya waktu setidaknya dua tahun untuk keluar dari Rusia. “Perusahaan-perusahaan itu bertahan, karena berpikir tidak apa-apa untuk terus meraup untung di Rusia,” katanya. Dia juga yakin jumlah aset yang disita Rusia diyakini juga tidak sebesar aset pemerintah Rusia yang dibekukan di Eropa.