Sukarno, Fatmawati, Guntur Sukarnoputra dan Megawati Sukarnoputri.
Nasional

Guntur Ngompol di Pangkuan Hatta, Kisah Unik di Tengah Peristiwa Rengasdengklok

  • Sayangnya, Hatta tidak membawa celana ganti. Akibatnya, ia terpaksa harus tetap mengenakan celana yang basah sambil menunggu bekas kencing Guntur mengering.

Nasional

Alvin Pasza Bagaskara

JAKARTA - Suara gaduh membangunkan Fatmawati yang sedang menemani anak pertamanya, Guntur Sukarnoputra. Ternyata, keributan itu berasal dari ruang makan rumah mereka. Fatmawati melihat suaminya, Sukarno, sedang berdiskusi serius dengan kelompok pemuda Sukarni Cs dari Menteng 31. 

Situasi ini terjadi pada 16 Agustus 1945. Para pemuda itu tampak menakutkan dengan pistol dan sebilah pisau di tangan mereka. Salah satu pemuda, dengan gaya penuh keberanian, mencabut pisaunya dan berseru, "Berpakaianlah Bung, waktunya telah tiba. Aku mengenal salah satu dari mereka, Sukarni," kata Fatmawati dalam buku Fatmawati: Catatan Kecil Bersama Bung Karno.

Ternyata, para pemuda tersebut mendesak Sukarno dan Mohammad Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun, Sukarno menolak. Saat itu, desas-desus mengenai kekalahan Jepang dari Sekutu dalam Perang Dunia II sudah merebak, meski belum ada pernyataan resmi mengenai hal tersebut.

Bagi Sukarno dan Hatta, kemerdekaan tidak bisa diumumkan begitu saja. Harus melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang sudah bekerja sejak 7 Agustus 1945, di mana Sukarno adalah ketuanya dan Hatta adalah wakilnya.

Di tengah keributan itu, Sukarno tiba-tiba masuk ke kamar tempat Fatmawati berada. Ia memberitahu Fatmawati bahwa para pemuda akan membawanya ke luar kota dan bertanya apakah ia ingin ikut. "Fatma dan Guntur akan ikut. Ke mana Mas pergi, di situ aku berada," jawab Fatmawati.

Setelah memutuskan untuk ikut, Fatmawati segera mempersiapkan barang bawaan. Dalam terburu-buru, ia hanya sempat membawa pakaian Guntur dan sehelai kain gendongan untuk putranya. 

Di luar rumah, sebuah sedan Fiat hitam kecil sudah menunggu, dan di dalamnya ternyata sudah ada Hatta. Dalam keadaan gelap dan dingin, Fiat tersebut melaju menuju lokasi yang tidak diketahui Fatmawati, yang kemudian diketahui berada di Jatinegara. 

Di sana, Fatmawati beristirahat dan menyusui Guntur. Ia tiba-tiba menyadari bahwa susu bubuk yang biasanya ia berikan kepada Guntur tertinggal. Panik, ia khawatir anaknya akan kehausan selama perjalanan. "Ketika aku menyadari susu persediaan tertinggal, mobil Fiat yang kami tumpangi terpaksa kembali ke Pegangsaan untuk mengambilnya," katanya.

Setelah menunggu, Hatta dan Sukarno bersama keluarganya diminta pindah ke sebuah truk yang dikemudikan oleh Iding. Para pemuda mengatakan bahwa sedan terlalu besar untuk melewati jalan menuju tujuan akhir. Hatta menyadari ini adalah siasat Sukarni cs agar supir sedan tidak mengetahui ke mana mereka dibawa.

Fatmawati baru mengetahui bahwa tujuan mereka adalah Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat. Mereka dibawa ke sebuah asrama (Pembela Tanah Air/PETA), sebuah ruangan berlantai papan tanpa meja dan kursi, hanya ada tikar pandan. Itu adalah ruang tidur para prajurit PETA.

Setelah satu jam di sana, Hatta dan Sukarno diberitahu bahwa ada rumah milik seorang tuan tanah Tionghoa, Djiaw Kie Song, yang dikosongkan untuk mereka. Hatta, Sukarno, Fatmawati, dan Guntur pindah ke rumah tersebut.

Waktu berlalu, Hatta mengingat dalam bukunya yang berjudul “Mohammad Hatta: Memoir”  bagaimana mereka bergantian merawat Guntur. Suatu ketika, saat Hatta memangku Guntur, terjadi hal yang tak terduga—Guntur kencing. Hatta segera meletakkan Guntur ke lantai, tetapi celananya tetap basah.

Sayangnya, Hatta tidak membawa celana ganti. Akibatnya, ia terpaksa harus tetap mengenakan celana yang basah sambil menunggu bekas kencing Guntur mengering. Hatta juga mengungkapkan bahwa dengan celana yang basah tersebut, ia tidak dapat melaksanakan salat.

Kejadian unik dalam Peristiwa Rengasdengklok terjadi setelah perdebatan tentang pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Dalam peristiwa ini, terjadi ketegangan antara golongan muda dan golongan tua mengenai kapan Proklamasi Kemerdekaan harus dilaksanakan. Akhirnya, setelah melalui perdebatan tersebut, Proklamasi Kemerdekaan dilaksanakan pada 17 Agustus 1945.