Habis Temui Putin, Posisi China Kini di Atas Rusia?
- MOSKOW- Setelah disambangi oleh rekan kepala negeranya yakni Presiden China, Xi Jinping pasca meletusnya perang Ukraina-Rusia, Presiden Vladimir Putin tam
Dunia
MOSKOW - Setelah disambangi oleh rekan kepala negeranya yakni Presiden China, Xi Jinping pasca meletusnya perang Ukraina-Rusia, Presiden Vladimir Putin tampak terkesan.
Putin dikenal dengan permainan kekuasaan yang dia mainkan saat bertemu para pemimpin dunia dan terkadang membuat mereka menunggu berjam-jam serta mencoba mengintimidasi. Namun, mereka melakukan hal sebaliknya dengan China.
Mereka berdua tampak berfoto di antara bendera Rusia dan China berukuran besar. Bendera tersebut tampaknya dirancang untuk menyuarakan pentingnya aliansi mereka.
Selain itu, Putin secara pribadi mengantar Xi ke mobilnya pada akhir pertemuan puncak pada hari Rabu lalu. Ini merupakan aksi ramah tamah yang hampir tidak pernah dilakukan Putin.
Tetapi upayanya sebagai tuan rumah tidak membuahkan hasil. Pada pertemuan tersebut, para ahli mengatakan bahwa posisi Rusia kini disebut sebagai junior. Alasannya, Presiden Xi menuai hadiah dari Rusia, namun Ia tidak membalas sebagian besar perlakuan istimewa tersebut.
"Hubungan China-Rusia yang asimetri semakin terlihat jelas selama beberapa waktu. Dan KTT telah menggarisbawahi itu," kata Ali Wyne, analis Eurasia Group di Washington DC sebagaimana dikutip TrenAsia.com dari Insider Jumat, 24 Maret 2023.
- Turisnya Sering Bertingkah, Ternyata Pemerintah Rusia Pernah Terbitkan Panduan Etika Melancong
- Ancol Gratiskan Tiket Masuk bagi Pengunjung Selama Ramadan 2023, Catat Syaratnya!
- Jadi Ketegangan Inggris-Rusia, Apa Itu Senjata Depleted Uranium?
- Jangan Sampai Terblokir, Begini Cara Cek IMEI iPhone Anda
Perlu diketahui mengenai hubungan dua negara, Putin dianggap sebagai penjahat oleh banyak komunitas internasional atas invasi brutal dan tidak beralasan ke Ukraina. Lantaran anggapan itu, ekonomi Rusia telah dilemahkan oleh sanksi Barat yang mengisolasinya dari sebagian besar ekonomi global.
Namun di tengah sanksi internasional, China menolak untuk bergabung dengan blokade. Negeri Tirai bambu bahkan memberi Rusia dukungan diplomatik, politik, dan ekonomi yang penting dalam konflik tersebut.
Pada pemungutan suara di PBB, China menahan dirinya untuk untuk mengutuk invasi di PBB menyalahkan Barat karena memicu konflik. Di sisi lain, China memperluas dan memperdalam hubungan perdagangan dengan Rusia.
China terus membeli minyak Rusia dengan harga diskon besar-besaran. hal ini tentunya membantu menjaga ekonomi Rusia tetap bertahan.
Selain itu, China telah bersiap untuk menjual barang ke Rusia termasuk suku cadang jet dan peralatan gangguan elektronik yang dilarang disediakan oleh perusahaan Barat.
“China menilai bahwa kemitraan yang lebih kuat dengan Rusia merupakan pilar dari upayanya untuk mengimbangi tekanan yang meningkat dari demokrasi industri maju, terutama di Barat,” kata Wyne.
Ikat Ekonomi Ke China
KTT antara China dan Rusia menampilkan sejumlah pengumuman proyek bersama China-Rusia. Namun, para analis mencirikan hal tersebut sebagai kesepakatan satu sisi. Pasalnya, KTT memberikan peluang ekonomi China kepada Xi sementara tidak berbuat banyak untuk memperkuat Rusia.
Lantaran hal tersebut, Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby mengejek Putin dan menyebut Rusia sebagai Mitra Junior dari aliansi tersebut.
Adapun sejumlah proyek yang dicantumkan pada KTT China-Rusia adalah jaringan pipa minyak dan gas tambahan dari Rusia ke China dengan harga yang dapat ditentukan oleh China. Ada juga kesepakatan mengenai peluang baru bagi perusahaan China untuk mengambil alih bisnis di Rusia yang dibiarkan kosong oleh perusahaan Barat yang menarik diri.
Dua negara tersebut juga sepakat agar China mengambil peran kunci dalam mengembangkan wilayah bobrok di Rusia timur. Rusia tidak ditawari saham yang sebanding dalam ekonomi China yang jauh lebih besar sebagai imbalannya.
"Putin memberi tahu rakyatnya bahwa dia berjuang untuk kedaulatan Rusia. Sebenarnya, dia menggadaikan Kremlin ke Beijing," kataSam Greene, direktur Pusat Analisis Kebijakan Eropa dan profesor di King's College London.