potret gedung OJK
Nasional

Hadiri Pertemuan Besel, OJK Minta Perbankan Perkuat Tata Kelola dan Manajemen Risiko

  • Baru-baru ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turut menghadiri pertemuan Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) di Hong Kong. Pertemuan tersebut membahas perkembangan terkini kondisi perbankan global yang sedang mengalami tekanan.
Nasional
Drean Muhyil Ihsan

Drean Muhyil Ihsan

Author

JAKARTA – Baru-baru ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turut menghadiri pertemuan Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) di Hong Kong. Pertemuan tersebut membahas perkembangan terkini kondisi perbankan global yang sedang mengalami tekanan.

Pertemuan itu juga membahas kondisi perbankan dunia yang sedang mengalami tekanan dan pentingnya perbankan untuk kembali pada praktek-praktek yang sehat dengan menjaga keseimbangan manajemen aset dan kewajiban, rasio modal yang memadai serta ketersediaan likuiditas pada rentang yang aman.

BCBS menilai bahwa kondisi makroekonomi global saat ini sedang dalam tataran yang sangat dinamis. Pergerakan inflasi global yang sedang meningkat akibat disrupsi rantai pasok komoditas dan energi telah direspons dengan kenaikan suku bunga di berbagai yurisdiksi.

Kondisi demikian pada gilirannya akan menekan pertumbuhan ekonomi global. Perubahan kondisi makro yang demikian cepat ini sangat memberi tekanan pada industri keuangan khususnya perbankan. Sebagai contoh apa yang terjadi pada penutupan Sillicon Valley Bank (SVB).

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menilai kerentanan yang saat ini terjadi di perbankan global terutama dipicu oleh kegagalan bank tertentu di Amerika Serikat dan Eropa tidak memiliki dampak signifikan terhadap industri perbankan Indonesia. 

“Berbagai indikator menunjukkan bahwa perbankan Indonesia dalam kondisi yang solid dengan rata-rata rasio prudensial yang tetap di atas rata-rata perbankan global,” ujarnya melalui keterangan pers, Senin, 27 Maret 2023.

Sebagai gambaran, pada posisi Januari 2023, rasio kecukupan modal (CAR) sebesar 25,93% dan sekitar 85% komponen modal masuk dalam klasifikasi modal inti. Sebagai perbandingan, rasio modal inti perbankan AS 13,52% dan Eropa sebesar 16,13%. 

Selain itu, kinerja likuiditas perbankan Indonesia terjaga dengan baik, antara lain ditunjukkan dengan Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net-Stable Funding Ratio (NSFR) masing-masing tercatat sebesar 232,22% dan 134,58%. 

Kondisi likuiditas tersebut juga jauh lebih baik dibandingkan dengan rasio LCR dan NSFR perbankan di AS sebesar 120,43% dan 123,20% serta perbankan di Eropa sebesar 152,39% dan 120,21%.

Pentingnya Kecukupan Rasio Modal dan Likuiditas

Belajar dari kegagalan SVB, BCBS juga terus menekankan pentingnya kecukupan rasio modal dan ketersediaan likuiditas yang memadai. Biaya modal (cost of capital) serta ketersediaan likuiditas dalam jumlah yang cukup memang dianggap mahal dan tidak efisien. 

Namun BCBS juga mengingatkan bahwa keterbatasan modal dan likuiditas akan menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar apabila industri perbankan gagal dalam mengantisipasi pergerakan/gejolak makroekonomi global dan gagal dalam menjaga kepercayaan masyarakat. 

Biaya ekonomi dan sosialnya akan sangat besar dan jauh lebih mahal terlebih apabila hal tersebut memicu efek rembetan secara global. Kasus kegagalan SVB atau Lehman Brother sebelumnya telah memberi pelajaran yang sangat berharga.

Sejalan dengan arah BCBS, Dian meminta perbankan Indonesia untuk terus memperkuat penerapan tata kelola, manajemen risiko, dan prinsip kehati-hatian antara lain dengan melakukan stress testing dan pemantauan terhadap portofolio aset dan liabilitas bank.

Saat ini, Dian mencermati bahwa aset perbankan juga terjaga pada komposisi yang proporsional dengan komposisi Dana Pihak Ketiga (DPK) yang didominasi oleh current account and saving account (CASA) atau dana murah yang semakin meningkat sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga.

“Perbankan harus terus memerhatikan prinsip-prinsip dasar kehati-hatian dalam menyikapi kasus SVB dan efek rembetannya. Rasio kecukupan modal dan ketersediaan likuiditas pada aset yang berkualitas tinggi harus tetap dijaga,” paparnya.