Hana-Rawhiti Maipi-Clarke menampilkan tarian haka tradisional Maori dan merobek salinan rancangan undang-undang yang kontroversial di parlemen Selandia Baru.
Dunia

Hana-Rawhit, Politikus Muda Selandia Baru yang Protes Parlemen Lewat Tarian Haka

  • Parlemen Selandia Baru sempat dihentikan sementara setelah anggota parlemen Māori melakukan haka, tarian tradisional yang melibatkan gerakan kelompok, sebagai bentuk protes.

Dunia

Distika Safara Setianda

JAKARTA – Parlemen Selandia Baru sempat dihentikan sementara setelah anggota parlemen Māori melakukan haka, tarian tradisional yang melibatkan gerakan kelompok, sebagai bentuk protes.

Tindakan ini mencerminkan kemarahan dan kekhawatiran komunitas mereka terhadap rancangan undang-undang yang bertujuan menafsirkan ulang perjanjian pembentukan negara dengan masyarakat adat.

Ketika pembacaan pertama usulan tersebut, pembicara meminta tanggapan dari Hana-Rawhiti Maipi-Clarke, anggota parlemen Māori, mengenai sikap partainya, Te Pāti Māori, terhadap RUU Prinsip-prinsip Perjanjian Waitangi. Sebagai respons, Maipi-Clarke berdiri, merobek apa yang tampak seperti salinan undang-undang miliknya, lalu memulai haka.

Dilansir dari The New York Times, Senin, 18 November 2024, ia bergabung dalam haka bersama anggota oposisi lain di lantai sidang, serta orang-orang di galeri yang menghadap ke ruang sidang.

Juru bicara Gerry Brownlee, menghentikan sesi sementara waktu. Maipi-Clarke, yang sebelumnya juga melakukan haka di Parlemen setelah terpilih tahun lalu, diskors akibat aksinya dalam protes tersebut. Brownlee menyebut tindakan tersebut sebagai perilaku yang tidak pantas.

Perjanjian Waitangi, yang ditandatangani pada tahun 1840 antara kepala suku Māori dan Kerajaan Inggris, dianggap sebagai dokumen pendirian Selandia Baru. Perjanjian ini menjadi dasar bagi hukum dan kebijakan yang bertujuan memperbaiki ketidakadilan historis terhadap suku Māori akibat kolonialisme.

Namun, partai politik Act, yang merupakan kelompok paling konservatif dalam pemerintahan koalisi, menyatakan keinginan untuk memastikan “hak yang sama” bagi semua warga. Mereka berpendapat perlakuan khusus berdasarkan asal etnis telah menyebabkan perpecahan dalam masyarakat Selandia Baru.

Bulan ini, partai Act memperkenalkan RUU yang menurut para ahli berpotensi merusak hubungan antar-ras dan menggagalkan upaya puluhan tahun untuk mengatasi ketidakadilan sejarah terhadap masyarakat Māori akibat penjajahan. RUU ini telah memicu ketegangan rasial di Selandia Baru.

Suku Māori yang mencakup sekitar 20% dari total 5,3 juta penduduk Selandia Baru, menghadapi berbagai tantangan. Mereka mengalami kesulitan ekonomi, memiliki indikator kesehatan yang lebih buruk, dan tingkat pemenjaraan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan populasi lainnya.

Ribuan orang memprotes RUU tersebut dengan berbaris di seluruh negeri menuju Wellington, ibu kota, minggu ini, menurut media lokal.

Partai Nasional, partai politik utama berhaluan kanan-tengah di Selandia Baru sekaligus anggota senior dalam koalisi pemerintahan, berupaya menjaga jarak dari RUU tersebut. Namun, para pemimpin partai telah setuju untuk mengajukan RUU itu sebagai bagian dari kesepakatan aliansi dengan Act.

Pada hari Kamis, para legislator memberikan suara untuk melanjutkan pembahasan RUU tersebut, meskipun kecil kemungkinannya undang-undang itu akan mendapat kemajuan lebih lanjut atau disahkan.

“Anda tidak bisa begitu saja meniadakan, dengan satu goresan pena, 184 tahun perdebatan dan diskusi dengan sebuah RUU yang menurut saya sangat sederhana,” kata Perdana Menteri Christopher Luxon kepada wartawan pada hari Kamis menjelang pembacaan pertama.

Anggota parlemen Selandia Baru Hana-Rawhiti Kareariki Maipi-Clarke kembali menjadi berita setelah ia mengkritik rancangan undang-undang perjanjian adat di Parlemen.

Parlemen Selandia Baru mengalami sesi yang berapi-api pada Kamis setelah anggota parlemen Maori Hana-Rawhiti Kareariki Maipi-Clarke, yang juga merupakan anggota parlemen termuda di Parlemen, merobek salinan RUU Perjanjian Pribumi sambil melakukan tarian Haka yang meriah, yang mendorong orang lain untuk ikut melakukannya.

Siapa Hana-Rawhiti Kareariki Maipi-Clarke, Anggota Parlemen Termuda di Selandia Baru?

Sebuah video sesi Parlemen di Selandia Baru menjadi viral, saat para anggota parlemen berkumpul untuk memberikan suara pada RUU Prinsip Perjanjian. Namun, sesi tersebut terganggu oleh aksi anggota parlemen Te Pāti Māori berusia 22 tahun, Hana-Rawhiti Kareariki Maipi-Clarke, yang merobek salinan RUU dan menampilkan haka, tarian tradisional Māori.

Anggota DPR lainnya dan penonton di galeri bergabung dengan Hana-Rawhiti Kareariki Maipi-Clarke dalam haka, yang menyebabkan Ketua DPR Gerry Brownlee menangguhkan sesi DPR untuk sementara waktu.

Berdasarkan prinsip yang terkandung dalam Perjanjian Waitangi 1840, yang mengatur hubungan antara pemerintah dan suku Māori, suku-suku diberikan hak-hak luas untuk menjaga tanah mereka dan melindungi kepentingan mereka sebagai imbalan atas penyerahan kekuasaan kepada Inggris. RUU tersebut akan menetapkan bahwa hak-hak tersebut harus diterapkan untuk semua warga Selandia Baru.

Dilansir dari Hindustan Times, Hana-Rawhiti Kareariki Maipi-Clarke adalah anggota parlemen berusia 22 tahun di Selandia Baru, yang mewakili Te Pati Maori di Parlemen. Ia adalah anggota parlemen termuda yang menjabat di DPR dalam hampir dua ratus tahun.

Maipi-Clarke awalnya menjadi berita utama setelah ia terpilih dalam pemilihan umum tahun 2023 di Selandia Baru, dan membawakan tarian tradisional Haka di Parlemen selama pidato perdananya.

Baik dia maupun ayahnya dipertimbangkan sebagai kandidat untuk mengikuti pemilihan umum dari Te Pāti Māori, namun Maipi-Clarke akhirnya dipilih karena “perspektif mudanya.”

Maipi-Clarke telah menjadi kritikus vokal Perdana Menteri Christopher Luxon dan pemerintahan konservatifnya, yang dituduh merongrong hak-hak Maori.

Karena popularitas Luxon telah merosot tajam akibat kebijakan garis keras tertentu, Maipi-Clarke berhasil masuk dalam daftar pendek lima kandidat alternatif  “Perdana Menteri pilihan,” menurut jajak pendapat berita lokal yang dilaporkan oleh majalah Time.

RUU kontroversial yang dimaksud, yaitu RUU Prinsip Perjanjian, mendapat sedikit dukungan dan diperkirakan tidak akan menjadi undang-undang. Para penentangnya berpendapat bahwa RUU ini berpotensi menyebabkan perpecahan rasial dan ketegangan konstitusional, sementara ribuan warga Selandia Baru bepergian ke berbagai wilayah minggu ini untuk memprotesnya.

Tarian Haka

Haka berasal dari legenda Māori. Etnis ini sering melakukan tarian sebagai bentuk persiapan sebelum berperang atau saat berkumpul bersama anggota suku mereka. Gerakan dalam seni tari ini melibatkan hentakan kaki, tepukan pada tubuh, juluran lidah, dan nyanyian yang keras. Pertunjukan ini dilakukan dengan semangat untuk menggambarkan perlawanan, kebanggaan, solidaritas, dan kekuatan.

Nyanyian keras yang terdengar saat menari adalah “Ka mate! Ka mate! Ka ora! Ka ora!” yang berasal dari bahasa Māori Kuno. Makna dari kata-kata tersebut adalah “Aku mati! Aku mati! Aku hidup! Aku hidup!”

Dilansir dari Britannica, Haka juga kadang digunakan sebagai simbol identitas suku. Sejak 1972, pertunjukan haka telah menjadi salah satu fitur utama dalam festival seni pertunjukan Te Matatini yang sangat populer, yang diadakan setiap dua tahun sekali di Selandia Baru.

Kata-kata "Ka Mate!" yang telah disebutkan sebelumnya mulai digunakan oleh Kepala Suku Te Rauparaha. Kini, frasa ini sering digunakan dalam berbagai ritual lainnya.

Seiring berjalannya waktu, tarian Haka juga semakin sering dipertunjukkan dalam berbagai pertemuan. Suku Māori menjadikan tarian ini sebagai bagian dari ritual sambutan, khususnya saat seorang pengunjung datang ke komunitas mereka.

Tim rugby nasional All Blacks dari Selandia Baru juga telah memasukkan Tarian Haka sebagai bagian dari tradisi pra-pertandingan sejak awal abad ke-20.

Dalam konteks Tarian Haka yang ditampilkan, Hana Rawhiti, sebagai anggota parlemen yang menari, jelas menggunakannya sebagai bentuk perlawanan atau penolakan. Sementara, mereka yang bergabung dalam tarian tersebut turut serta dalam penolakan sebagai simbol solidaritas.