Kawasan proyek SGAR di Kalimantan Barat. (Mind ID)
Energi

Harga Anjlok, Bos MIND ID Minta Batasi Smelter Nikel

  • Oversupply pada ferronickel telah memicu jatuhnya harga komoditas tersebut di pasar global. Alhasil, harga patokan saat ini tidak dapat memenuhi biaya produksi smelter.

Energi

Debrinata Rizky

JAKARTA - Holding BUMN Pertambangan MIND ID mengusulkan adanya kebijakan pembatasan jumlah smelter melalui moratorium perizinan. Langkah ini perlu agar tidak menyebabkan kelebihan pasokan (oversupply) pada komoditas.

Direktur Utama MIND ID Hendi Prio Santoso mengatakan hal ini didasari oleh kondisi kelebihan pasokan telah terjadi pada smelter yang menghasilkan ferronickel sebagai bahan untuk membuat stainless steel.

Menurutnya oversupply pada ferronickel telah memicu jatuhnya harga komoditas tersebut di pasar global. Alhasil, harga patokan saat ini tidak dapat memenuhi biaya produksi smelter.

"Kami berharap agar ada dukungan dari sisi tata kelola mohon adanya pembatasan jumlah smelter yang dilakukan karena banyaknya jumlah smelter ini kami khawatirkan akan membuat oversupply dari sisi pasar dunia," kata Hendi dalam RDP dengan Komisi XII, pada Rabu, 4 Desember 2024.

Selain pembatasan smelter ia juga meminta pemerintah agar mengelola tata niaga misalnya insentif importasi yang tidak diberikan kepada produk yang telah diproduksi dalam negeri.

Kemudian, pemberlakuan penetapan kuota produksi mineral kritis dan mineral strategis nasional oleh Menteri ESDM berdasarkan rekomendasi dari BUMN dan asosiasi pertambangan.  Dalam hal ini, pihaknya menilai BUMN harus mendapatkan kuota yang dominan untuk memastikan stabilitas harga.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga akhir 2023 ada lima smelter feronikel yang aktif berproduksi. Diantaranya PT Aneka Tambang (Antam) di Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara, PT Vale Indonesia di Sulawesi Selatan. Ada juga PT Wanatiara Persada di Maluku Utara, PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara di Maluku Utara dan PT Weda Bay Nickel di Maluku Utara.

Masalah Oversupply Tak Kunjung Diatasi

Sebelumnya, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mendorong pengusaha untuk mengimpor bijih nikel. Hal tersebut bertujuan untuk menjaga cadangan nikel dalam negeri agar tidak berlebihan.

Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey meminta, pemerintah untuk tidak berlebihan dalam menerbitkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk rencana produksi nikel.

Meidy mengatakan, alasan mendorong impor bijih nikel Karena dengan importasi bijih nikel pada akhirnya akan berdampak pada proyeksi produksi dan harga di pasar dunia.

Meski tak menampik, harga biji nikel impor memang lebih mahal dari bijih nikel lokal, namun dengan cara tersebut impor biji nikel akan meningkatkan harga domestik. Sehingga Ia meminta pemerintah memberikan ruang impor dalam RKAB industri nikel.

Menurut data APNI, kebutuhan komoditas untuk industri smelter nikel hanya sekitar 215 juta ton hingga 2027. Namun pabrikan butuh membangun stok bijih nikel yang membuat total kebutuhan bijih nikel hingga 2027 sekitar 280 juta ton.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara pada Mei 2024 bahwa tahun telah menerima pengajuan RKAB 747 perusahaan mineral termasuk salah satunya adalah nikel. Berdasarkan RKAB yang telah diajukan, jumlah rencana produksi nikel Indonesia untuk periode 2024-2027 sebesar 240 juta ton.