Ilustrasi pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT)
Energi

Harga EBT Kian Kompetitif, Siap Bersaing dengan Energi Fosil

  • Harga pembangkit EBT dibandingkan dengan pembangkit berbasis energi fosil, seperti batu bara (PLTU), bahkan dianggap lebih rendah.

Energi

Bintang Surya Laksana

JAKARTA - Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana menyampaikan harga listrik dari pembangkit energi baru terbarukan (EBT) sudah hampir mendekati harga listrik berbasis fosil.

Dadan mengatakan perkembangan tersebut membuat keseimbangan persaingan usaha antara EBT dengan energi fosil. Oleh karenanya, pemerintah memiliki alasan kuat untuk menjadikan EBT sebagai sumber energi.

"Secara keekonomian, PLTB Sidrap dan PLTB Jeneponto di 2016, kontrak listriknya yang ditandatangan dan disetujui oleh Menteri ESDM, harganya itu 10,9 sen dolar Amerika per kWh. Sekarang, sudah ada kontrak baru PLTB di Kalimantan Selatan awal tahun 2023 ini, kapasitasnya sama kira-kira 75 megawatt (MW)," ujar Dadan dalam keterangan resmi yang diterima pada Minggu, 17  Desember 2023 di Jakarta.

Dandan menambahkan Jika dibandingkan dengan harga 6-7 tahun lalu, sekarang angkanya adalah di bawah 6 sen dolar Amerika per kWh.

Hal tersebut disampaikan Dadan dalam diskusi bertajuk "Bedah NZE untuk Peluang Usaha Baru Sektor ESDM" pada Sabtu, 16 Desember 2023 di Kota Bandung, Jawa Barat. 

Kementerian ESDM menyatakan kemajuan dalam teknologi energi terbarukan, terutama dalam sektor pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan angin (PLTB), telah meningkatkan efisiensi, mengakibatkan penurunan biaya produksi listrik yang lebih rendah dibandingkan dengan pembangkit energi fosil. 

Selain itu, harga pembangkit EBT dibandingkan dengan pembangkit berbasis energi fosil, seperti batu bara (PLTU), bahkan dianggap lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pembangkit listrik dari EBT memiliki potensi daya saing yang lebih tinggi.

"Harga listrik PLTS Cirata (yang seharga 5,8 sen dolar Amerika per kWh) itu angkanya di bawah 6 sen dolar AS per kWh juga. Kalau ingin sederhana hitung saja, misal produksi listrik dari batu bara satu kWh itu perlu sekitar 0,7 sampai 0,8 kilo batu bara. Jadi, komponen bahan bakarnya itu bisa langsung dihitung di situ. Yang per sekarang angkanya harus lebih mahal dari yang tadi. Apakah EBT ini kompetitif? sekarang sudah tendensinya ke situ," jelas Dadan.

Dengan harga batu bara acuan (HBA) berkisar antara US$125-130 atau sekitar Rp1,9 juta - 2 juta (kurs Rp15.524) per ton, maka harga listrik dari EBT sudah dapat bersaing dengan harga listrik berbasis fosil.

"Dengan HBA saat ini berkisar di angka sekitar US$130 (Rp2 juta) per ton ini sudah bersaing. Jadi, EBT ini sekarang sudah masuk skala keekonomian. Kita head to head saja dengan fosil sudah bisa. Jadi, narasi yang ingin saya bangun itu adalah sekarang tidak ada alasan lagi untuk tidak memakai EBT," tutup Dadan.