Harga Gandum Melonjak, Ini Yang Perlu Dilakukan Emiten Terdampak Kata Analis
- Ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina menyebabkan kenaikan harga gandum yang berpotensi memengaruhi kinerja emiten konsumen barang primer yang menggunakan gandum sebagai bahan baku.
Industri
JAKARTA - Ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina menyebabkan kenaikan harga gandum yang berpotensi memengaruhi kinerja emiten konsumen barang primer yang menggunakan gandum sebagai bahan baku.
Dilansir dari Financial Times, harga gandum di Chicago melonjak naik sebesar US$13,40 per bushel pada Jumat, 4 Maret 2022.
Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan, kenaikan harga gandum tidak terlalu berpotensi untuk menggangu kinerja dari emiten yang terdampak seperti MYOR, ROTI, ICBP, INDF dan lain sebagainya, akan tetapi emiten perlu melakukan kebijakan untuk memertahankan tingkat profit margin yang dimiliki.
- Gokil! Pendukung Fanatik Rela Tato Seragam Tim Sepak Bola di Seluruh Badan
- Crypto Winter Berpotensi Lahirkan Crazy Rich Baru? Berikut Penjelasannya
- 4 Kebiasaan Anak Muda yang Bikin Cepat Bangkrut, Hati-hati!
"Jika terjadi kenaikan harga gandum global, memungkinkan emiten untuk melakukan kebijakan penyesuaian harga agar dapat menjaga tingkat profit margin emiten tersebut, sambil melihat situasi dan kondisi daya beli masyarakat secara keseluruhan," kata Nafan kepada TrenAsia.com Sabtu, 5 Maret 2022.
Di sisi lain meskipun adanya kenaikan harga gandum, emiten masih dapat menlajankan strategi bisnis untuk meningkatkan penjualan dengan memanfaatkan momentum bulan suci Ramadhan yang diperkirakan akan jatuh pada awal April mendatang, sebagai peluang untuk meningkatkan strategi bisnis dan kinerja penjualan.
Selain itu adanya efisiensi bisnis oleh emiten terdampak, hal ini juga dapat mengurangi tekanan dari berbagai biaya agar dapat menciptakan cash flow yang sehat, sehingga dapat menjadi penilaian oleh para investor jangka panjang.
Ia juga meyakini, selagi emiten terdampak dapat melakukan startegi bisnis yang baik, hal ini tidak akan terlalu berdampak buruk terutama pada penurunan laba bersih.
"Untuk kinerja laba bersihnya, saya pikir masih akan lumayan stabil diiringi dengan optimisme pemulihan ekonomi nasional, karena menurut saya di Indonesia lebih mengacu kepada kondisi dari optimisme pemulihan ekonomi di tanah air, belum lagi kita nanti akan memasuki bulan puasa yang berpotensi memberikan tingkat kenaikan demand," tambah Nafan.