Gas-Bumi.jpeg
Energi

Harga Gas Murah Industri (HGBT) Selesai 2024, Bagaimana Realisasinya Selama Ini?

  • Kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebesar US$6 per MMBTU kepada tujuh industri yang diberlakukan Pemerintah sejak 2020.

Energi

Debrinata Rizky

JAKARTA - Kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebesar US$6 per MMBTU kepada tujuh industri yang diberlakukan Pemerintah sejak 2020.

Sebanyak 7 sektor penikmat HGBT saat ini terdiri atas sektor industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, hingga sarung tangan karet. Seluruhnya mendapatkan pasokan gas di bawah harga pasar yakni US$6 per MMBTU.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2020-2021 ketika kebijakan HGBT diimplementasikan, terdapat peningkatan pendapatan perpajakan sebesar 20% dari industri penerima kebijakan HGBT dengan pendapatan pajak sebesar Rp15,3 triliun pada tahun 2021.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji mengatakan meski ditengah kondisi pandemi COVID-19 kebijakan ini dinilai meningkatkan perpajakan.

Realisasi HGBT Selama Ini

Pada tahun 2021, seluruh sektor industri penerima kebijakan HGBT mencatatkan pertumbuhan perpajakan yang bernilai positif. Peningkatan terbesar berasal dari sektor sarung tangan karet, yang mengalami peningkatan hingga 3,5 kali.

Sementara untuk tahun 2021, jumlahnya penyerahan harian pasokan gas bumi untuk sektor industri tertentu meningkat dari 1.197,82 BBTUD menjadi 1.241,01 BBTUD melalui revisi Kepmen ESDM Nomor 89 tahun 2020 menjadi Kepmen ESDM Nomor 134 tahun 2021 dengan realisasi 87,06%.

Pada tahun 2022, jumlahnya meningkat menjadi 1.253,81 BBTUD sesuai Kepmen ESDM Nomor 134/2021 dengan realisasi hingga Desember 2022 sebesar 81,38%.

Namun menurut Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi  penyerapan gas industri murah melalui kebijakan harga gas bumi tertentu atau HGBT sepanjang 2023 tak mencapai target yakni di angka 95%.

Menurut Kurnia, dari sisi hulu migas ada rencana-rencana produksi yang mengalami kendala operasional. Hal ini mengakibatkan alokasi yang telah direncanakan dalam keputusan menteri menjadi ada sedikit fluktuasi yang meningkat dan menyebabkan penurunan.

Selain itu, Kurnia juga melihat adanya hal lain yang turut berpengaruh yakni faktor ketidakcukupan bagian negara untuk menjaga bagian kontraktor tetap utuh.

Hilangnya Potensi Penerimaan Negara

Bahkan SKK Migas menyebut ada lebih dari US$1 miliar atau sekitar Rp15,67 triliun (asumsi kurs Rp15.667 per dolar AS) potensi penerimaan negara yang hilang akibat kebijakan harga gas bumi tertentu atau HGBT sepanjang 2023.

Kurnia mengatakan, potensi hilangnya pendapatan negara itu masih dalam hitung-hitungan awal dan perlu rekonsiliasi lanjutan.  

Adapun hilangnya pendapatan negara yang cukup besar itu dibarengi dengan pengembalian sejumlah kontrak volume dan gas ke perjanjian jual beli gas (PJBG) awal sebelum beleid HGBT terbit pertama kali lewat Kepmen ESDM No.89 tahun 2020.

Padahal jika mengacu Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 91.K/MG.01/MEM/2023, HGBT tidak lagi dipatok US$6 per juta metrik british thermal unit (MMBtu). Namun sebagian industri saat ini mendapat penyusutan alokasi volume dan harga gas bisa di level tertinggi US$7 per MMBtu.  

Sekadar informasi, adanya pengurangan penerimaan negara itu sebagai konsekuensi dari aturan kept whole contractor yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Pemerintah harus memastikan tidak adanya pengurangan penerimaan kontraktor dari program HGBT.