<p>Produk Batu Bara milik PT Timah Tbk / Dok. PT Timah Tbk</p>
Industri

Harga Komoditas Terus Melambung, Dunia Kembali Masuk Era Commodities Boom?

  • JAKARTA – Harga komoditas yang terus melambung sejak akhir 2020 hingga saat ini seperti mengingatkan kondisi pada 2000-an akhir ketika terjadi commodities boom.

Industri

Reza Pahlevi

JAKARTA – Harga komoditas yang terus melambung sejak akhir 2020 hingga saat ini seperti mengingatkan kondisi pada 2000-an akhir ketika terjadi commodities boom. Saat itu, commodities boom bahkan sempat menyelamatkan ekonomi Indonesia dari krisis yang melanda dunia.

Catat saja, harga komoditas seperti batu bara sempat mencapai harga tertinggi sejak 2008 pada level US$180 per ton. Lalu, minyak mentah Brent juga sempat menyentuh US$77,16 pada Juli 2021 dan tetap stabil di level US$65-US$75 hingga saat ini. 

Ekonom Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira mengatakan apa yang terjadi saat ini memang sudah bisa digolongkan sebagai commodities boom

“Sekarang ini sudah memasuki commodities boom, jadi sudah terjadi. Kita bisa melihat beberapa komoditas kenaikan harganya cukup impresif,” ujar Bhima ketika dihubungi TrenAsia.com, Selasa, 21 September 2021.

Ada pun, beberapa komoditas yang tercatat meningkat tersebut adalah harga minyak mentah meningkat 46,1% (year-to-date/ytd), gas bumi melonjak 96% (ytd), crude palm oil (CPO) meningkat 14,9% (ytd), batu bara bahkan meroket 120,5% (ytd), dan nikel naik 15,2% (ytd).

Dari komoditas-komoditas tersebut, Bhima mengatakan Indonesia sebagai negara komoditas memang sedang mengalami tren cukup bagus. Hal ini akibat adanya pemulihan ekonomi di negara seperti China dan Amerika Serikat, di mana mereka meminta bahan baku atau barang setengah jadi lebih banyak dari Indonesia.

Dengan adanya commodities boom ini, Bhima pun memperingatkan pemerintah agar tidak terlena dengan tingginya harga-harga. Belajar dari pengalaman sebelumnya, Indonesia jangan sampai lupa dengan manufakturnya.

“Kalau begitu terjadi yang namanya deindustrialisasi prematur, yaitu porsi industri manufakturnya mengalami penurunan terhadap PDB karena minat lebih banyak mengekspor barang mentah atau olahan primer,” jelasnya.

Selain itu, hilirisasi industri juga menjadi penting agar produk yang diekspor memiliki nilai tambah. Dengan begitu, kontribusi devisa ke ekonomi negara lebih besar. Adanya penekanan pada hilirisasi juga berarti Indonesia tetap bisa mencetak pertumbuhan ekonomi yang tinggi ketika nanti commodities boom berakhir.

Sampai Kapan?

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah memperkirakan commodities boom ini dapat berlangsung hingga 2022. Harga komoditas yang tinggi ini terutama didukung oleh pemulihan ekonomi global pasca pandemi. 

“Tidak menutup kemungkinan berlanjut hingga 2023. Naiknya harga komoditas ini pun tentunya berdampak positif terhadap industri energi dan pertambangan,” ujar Piter kepada TrenAsia.com, Selasa, 21 September 2021.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan memperkirakan komoditas-komoditas yang berkaitan dengan energi seperti batu bara, minyak mentah, dan gas alam tidak akan menunjukkan peningkatan berarti pada 2022.

“Prediksi saya hanya sampai akhir tahun ini saja. Karena memang untuk batu bara sudah psikologis harga cukup tinggi karena menyentuh angka tertinggi, minyak juga cukup fluktuatif di US$65-US$75 saat ini. Gas sendiri sangat tinggi karena masih banyak pasokan yang dibutuhkan,” ujarnya pada TrenAsia.com, Selasa, 21 September 2021.

Pada 2022, Mamit memprediksi harga ketiga komoditas tersebut akan stagnan atau bahkan ada kemungkinan turun kecuali ada kejadian luar biasa. Ini karena permintaan mulai stabil dan akan meningkat akibat musim dingin pada akhir 2021.

“Selain musim dingin, program vaksinasi dan pertumbuhan ekonomi membuat permintaan energi terus meningkat. Stimulus ekonomi di negara-negara juga akan meningkatkan konsumsi energi,” kata Mamit.

Negara-negara yang menggunakan energi baru dan terbarukan (EBT) juga dapat meningkatkan harga komoditas migas dan batu bara mengalami peningkatan. Ini karena pembangkit listrik tenaga surya atau angin yang bergantung dengan cuaca dapat membuat negara-negara tersebut membutuhkan komoditas tersebut sebagai sumber energinya ketika cuaca tidak mendukung.

“Karena energi terbarukan bersifat intermittent, maka secara otomatis harus ada backup energi primer yang biasanya didapat dari batu bara atau gas,” tutur Mamit.

Untuk 2022, Mamit memprediksi harga minyak mentah akan stabil di level sekitar US$65. Lalu, batu bara akan tetap berada di angka di atas US$100 tapi tidak akan menyentuh level US$150. Untuk gas bumi, harga diperkirakan tumbuh hingga dapat mencapai US$8 sampai US$10.

Mamit memperkirakan harga yang cukup tinggi bagi gas karena negara-negara yang kebanyakan menggunakan EBT masih melihat gas sebagai sumber energi primer yang lebih bersih dibanding batu bara. 

“Makanya saya perkirakan kebutuhan gas akan terus meningkat selama shifting energi fosil ke energi baru terbarukan berjalan secara optimal,” katanya.