<p>Sumber: http://pvc.vn/</p>
Ekonomi, Fintech & UMKM

Harga Minyak Dunia Turun, AS Paling Terbebani

  • JAKARTA – Harga miyak dunia diprediksi akan terus menurun sejak Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak dan sekutunya (OPEC+) bersepakat untuk memangkas produksi minyak menjadi 9,7 juta barel per hari (bpd) mulai Mei hingga Juni 2020. Berdasarkan data Bloomberg pada Kamis, 17 April 2020 pukul 07.13 WIB, tercatat harga minyak Brent untuk kontrak Juni 2020 sebesar US$27,82 […]

Ekonomi, Fintech & UMKM
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Harga miyak dunia diprediksi akan terus menurun sejak Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak dan sekutunya (OPEC+) bersepakat untuk memangkas produksi minyak menjadi 9,7 juta barel per hari (bpd) mulai Mei hingga Juni 2020.

Berdasarkan data Bloomberg pada Kamis, 17 April 2020 pukul 07.13 WIB, tercatat harga minyak Brent untuk kontrak Juni 2020 sebesar US$27,82 per barel, sedangkan minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak Mei 2020 sebesar USD 19,92 per barel.

Permintaan minyak pun diperkirakan merosot akibat perlambatan ekonomi global yang disebabkan oleh pandemi virus corona (COVID-19). Prediksi OPEC menunjukkan, penurunan permintaan bisa mencapai 6,9 bpd per hari atau 6,9% pada tahun ini.

“Pasar minyak saat ini sedang mengalami guncangan bersejarah yang tiba-tiba, ekstrem, dan skala global,” ungkap OPEC dalam laporannya yang dikutip Reuters, Jumat, 17 April 2020.

Mantan Wakil Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) periode 2016-2019 Arcandra Tahar mengungkapkan, apabila situasi rendahnya harga minyak ini berlangsung lama, negara yang mengeluarkan biaya produksi mahal akan mengalami kerugian besar, salah satunya Amerika Serikat (AS).

“Biaya produksi minyak di AS berkisar antara US$40 – US$50 per barel,” ungkap Arcandra dalam akun instagramnya @arcandra.tahar, Jumat, 17 April 2020.

Jauh sebelum COVID-19 meluas ke seluruh dunia, ungkapnya, harga minyak pada awal Maret 2020 sudah jatuh ke level UU$ 45 per barel. Kesepakatan harga yang rendah tersebut tak lain disebabkan oleh kegagalan pertemuan OPEC+ di Venna pada 5-6 Maret 2020 dalam menyepakati pemangkasan produksi sebesar 1,5 juta bpd selama tahun 2020.

“Permintaan Arab Saudi untuk memangkas produksi 1 juta bpd ditolak oleh Rusia,” ujar Arcandra.

Namun, dalam kacamata bisnis minyak dunia, ia menilai langkah Rusia tersebut tidaklah mengejutkan. Apabila produksi dipangkas, lanjutnya, Rusia dan dua negara utama produsen minyak dunia lain, yakni Venezuela dan Iran, akan digantikan pasarnya oleh AS.

“AS sendiri saat ini sudah menjadi produsen minyak dunia,” kata Arcandra.

Selama 10 tahun terakhir, produksi minyak AS naik dari sekitar 5 juta bpd pada tahun 2010, menjadi 13 juta bpd pada tahun 2020. Dari jumlah produksi tersebut, sekitar 4 juta barel harus dijual ke pasar.

Menurut Arcandra, dengan kelebihan produksi tersebut, AS dinilai akan mengambil keuntungan jika OPEC+ memangkas produksinya.

“AS punya kepentingan agar harga minyak dunia selalu di atas US$ 40 per barel,” katanya.

Kini, harga minyak justru turun di bawah US$30 per dolar. Biaya produksi minyak di Arab Saudi sendiri diketahui sekira US$10 – 15 per barel, sedangkan rata-rata biaya produksi di Rusia, yakni US$30 per barel.

Meskipun demikian, kata Arcandra, dengan kebijakan fiskal yang ketat, Rusia masih mampu bertahan, bahkan untuk tiga tahun ke depan. Akan tetapi bagi AS, rata-rata harga minyak dunia saat ini berpotensi mendatangkan kerugian.

Lantas menurutnya, pihak yang paling diuntungkan adalah konsumen atau importir minyak itu sendiri.

“Tentunya konsumen atau importir minyak yang bisa mengoptimalkan peluang ini untuk kepentingan jangka panjang. Apalagi dampak virus corona ini diproyeksikan dapat membuat harga minyak dunia bertahan di level terendah dalam waktu lama,” ungkap Arcandra.