Pemandangan lokasi penambangan nikel Vale di Sorowako, provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia (Reuters/Ajeng Dinar Ulfiana)
Korporasi

Harga Nikel Semakin Seksi, Bagaimana Potensi Cuan Saham-sahamnya?

  • Kenaikan harga nikel juga berpotensi menguntungkan saham-saham tambang ini yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Korporasi
Alvin Pasza Bagaskara

Alvin Pasza Bagaskara

Author

JAKARTA – Insiden kerusuhan politik di Kaledonia Baru pada pekan lalu langsung melambungkan harga nikel global. Pasalnya, negara yang terletak di tengah Samudra Pasifik itu memiliki cadangan nikel sebesar 7,1 juta metrik ton, yang menjadikannya pemilik cadangan nikel terbesar kelima di dunia pada 2023.

Data London Metal Exchange (LME) pada Senin, 21 Mei 2024, harga nikel berada di level US$21.615 per ton atau naik 2,5% dibandingkan perdagangan hari sebelumnya. Angka tersebut merupakan level tertinggi dalam hampir sembilan bulan terakhir. 

Kenaikan tersebut juga berpotensi menguntungkan saham-saham nikel yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ditambah, menurut Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), cadangan nikel di Indonesia diprediksi mencapai 55 juta metrik ton pada 2023 atau yang terbesar pertama di dunia.

Ekonom dan Pengamat Pasar Modal, Lucky Bayu Purnomo, menyatakan bahwa saat ini kinerja dolar AS terhadap rupiah menunjukkan pelemahan, sementara rupiah kembali menguat. Menurutnya, ini adalah momen di mana pelaku pasar melihat kinerja mata uang tersebut tidak lagi menarik karena volatilitasnya yang semakin rendah.

“Untuk itu, komoditi jauh lebih volatile. Dan itu terbukti dari kinerja harga emas yang kemarin pada penutupan terakhir ada di angka US$2418 per troy ounce. Akibat dari harga emas menguat, maka mayoritas kinerja komoditi rata-rata mengalami kenaikan,” jelas Lucky saat dihubungi TrenAsia pada Rabu, 22 Mei 2024. 

Lucky menjelaskan emiten komoditas tambang ke depannya bakal laris manis dan mungkin investor akan beralih memburu saham pertambangan emas, nikel, dan batu bara dibandingkan perbankan jumbo. 

“Kalau kita perhatikan era dari kinerja sektor perbankan seperti BBRI, BBCA, BMRI, terutama untuk BBRI yang sudah menguji all time high menandakan bahwa ada sektor lain yang diminati daripada sektor perbankan,” jelasnya. 

Menurutnya investor akan lebih memilih emiten dengan kinerja underlying yang menguat. Hal ini menjadi sentimen positif bagi kinerja komoditas, khususnya bagi emiten yang menghasilkan atau melakukan kegiatan di sektor pertambangan.

“Apakah itu emas, apakah itu nikel, apakah itu batu bara, apakah itu hasil eksplorasi minyak, dan seterusnya, sampai ke mineral. Contoh PT Barito Renewable Energy Tbk (BREN) yang masuk ke geothermal malah itu juga ikut mengalami sentiment positif gitu,” paparnya. 

Asal tahu saja, harga nikel telah turun sekitar 32% dari sekitar US$31 ribu pada awal tahun 2023 karena Indonesia, produsen terbesar, mengalami peningkatan pasokan dan melemahnya permintaan karena penjualan kendaraan listrik yang lebih lemah dari perkiraan.

Analis Amalgamated Metal Trading, Dan Smith, mengatakan, selain konflik di Kaledonia Baru, lonjakan harga pada akhir pekan lalu bertepatan dengan keluarnya laporan Badan Energi Internasional (International Energy Agency) yang memperkirakan tingginya permintaan nikel dan mineral lainnya yang penting untuk transisi ke energi yang lebih ramah lingkungan.

“Kami telah melihat kerusuhan ini. Jika Kaledonia Baru memiliki masalah yang berkelanjutan, maka hal ini akan berdampak pada harga,” katanya dalam laman Financial Times belum lama ini. 

Konsensus besar di antara para pedagang adalah bahwa pasar nikel saat ini telah sangat kelebihan pasokan. “Ini menyiratkan bahwa kenaikan harga saat ini tidak akan bertahan lama. Permintaan nikel bagus (saat ini) tetapi pasokannya bahkan lebih kuat,” jelasnya. 

Dari lantai bursa pada perdagangan Rabu, 22 Mei 2024, pukul 14:03 WIB, saham pemain nikel macam NCKL, ANTM, INCO, HRUM terpantau bergerak melemah di atas 1%. Pelemahan paling dirasakan oleh INCO dengan penurunan 2,77% ke level Rp4.910 per saham.