Harga Pangan Termahal se-ASEAN, Ini Saran Bank Dunia untuk Indonesia
JAKARTA – Bank Dunia menyebut, harga pangan di Indonesia termasuk yang tertinggi di kawasan AEAN. Maka ke depan, tantangan akan berhubungan dengan peningkatan keterjangkauan dan ketahanan gizi, terutama bagi segmen masyarakat prasejahtera. Selain biaya produksi, harga pangan tinggi karena berbagai faktor di luar pertanian seperti pembatasan perdagangan domestik dan internasional serta tingginya biaya pemrosesan, distribusi […]
Industri
JAKARTA – Bank Dunia menyebut, harga pangan di Indonesia termasuk yang tertinggi di kawasan AEAN. Maka ke depan, tantangan akan berhubungan dengan peningkatan keterjangkauan dan ketahanan gizi, terutama bagi segmen masyarakat prasejahtera.
Selain biaya produksi, harga pangan tinggi karena berbagai faktor di luar pertanian seperti pembatasan perdagangan domestik dan internasional serta tingginya biaya pemrosesan, distribusi dan pemasaran.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
“Dibandingkan dengan negara lain di kawasan, pola makan Indonesia menunjukkan diversifikasi yang terbatas dan ketersediaan mikronutrien yang terbatas,” kata Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Satu Kahkonen dalam Indonesia Economy Prospects-December 2020, Kamis, 17 Desember 2020.
Misalnya, Indonesia menempati peringkat rendah dunia dalam hal konsumsi sayur dan buah per kapita. Pola makan rendah gizi yang relatif tidak terdiversifikasi memiliki konsekuensi kesehatan, kematian, dan sosial ekonomi yang signifikan.
Anak-anak dan masyarakat prasejahtera secara tidak proporsional dipengaruhi oleh kondisi kesehatan terkait pola makan. Seperti masalah stunting dan kelebihan berat badan.
Indonesia juga menderita kerugian produktivitas yang tinggi karena penyakit yang ditularkan melalui makanan.
“Untuk itu, ada tiga perubahan yang direkomendasikan untuk mengatasi tantangan ketahanan pangan dan memodernisasi sistem pertanian pangan.”
Pertama, pendekatan ketahanan pangan perlu diperluas yang tertuang dalam Undang-Undang Pangan. Kedua, tujuan dan instrument kebijakan perlu disesuaikan kembali dan cakupan kebijakan didefinisikan kembali.
Ketiga, pengeluaran publik perlu dialokasikan kembali untuk mendapatkan dampak yang lebih besar dan produktif.
Satu juga menyarankan, pemerintah dapat memanfaatkan pembangunan sistem pertanian pangan untuk mendorong pertumbuhan inklusif. Modernisasi pertanian lebih lanjut dapat mendorong pertumbuhan, pendapatan sektor pertanian, pekerjaan, ekspor, dan kelestarian lingkungan.
Pada saat yang sama juga memberikan lebih banyak pilihan, nilai, keamanan. Terakhir, memberikan kenyamanan bagi konsumen dengan harga yang lebih stabil dan kompetitif.