Harga Saham AADI Naik 56 Persen Pasca IPO, Begini Prospek Kinerja dan Target Sahamnya
- Saham PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) naik 1,64% pada 24 Desember 2024 setelah terpuruk di zona merah. Dengan margin kas tinggi dan biaya rendah, bagaimana prospek saham ini di tengah ancaman penurunan harga batu bara?
Bursa Saham
JAKARTA – Saham PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) akhirnya berhasil mencatatkan kenaikan tipis sebesar 1,64% pada perdagangan 24 Desember 2024. Sejumlah 54,6 juta saham AADI ditransaksikan dengan frekuensi mencapai 25.005 kali dan nilai transaksi tercatat sebesar Rp421,89 miliar.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, investor asing membukukan net sell sebesar Rp49,1 miliar, dengan total nilai transaksi jual mencapai Rp76,5 miliar. Saham AADI berhasil bangkit setelah pada periode 17–23 Desember 2024 terus berada di zona merah.
Sementara itu, riset CGS International Sekuritas yang dipublikasikan pada 19 Desember menyebutkan bahwa AADI merupakan salah satu produsen batu bara utama di Indonesia yang fokus pada produksi batu bara mid-CV dengan kalori 4.200–5.000 kcal/kg melalui berbagai aset.
- Harga Sembako di DKI Jakarta: Cabe Rawit Merah Naik, Kelapa Kupas Turun
- Super Air Jet Buka Penerbangan Langsung Ternate-Jakarta
- Saham TOWR hingga PGAS Paling Ngacir di Pembukaan LQ45 Hari Ini
CGS mencatat bahwa AADI memiliki struktur biaya terendah di antara perusahaan-perusahaan sejenis, yang didukung oleh strip ratio rendah sebesar c.4.5x dibandingkan rata-rata industri yang mencapai 10x.
CGS juga menyoroti margin kas AADI yang mencatatkan kinerja tertinggi di sektor batu bara, sebesar 44% pada tahun 2023, yang tidak termasuk royalti. CGS memperkirakan margin kas ini akan tetap kuat di kisaran 39–41% pada 2025–2026, jauh lebih baik dibandingkan rata-rata perusahaan sejenis yang hanya mencapai 27–30%.
“Daya saing biaya yang kuat ini membuat AADI mampu mempertahankan keunggulan selama periode penurunan harga batu bara, seperti yang terjadi pada 2015–2017 dan 2019–2020, dengan margin kas 5–16% poin lebih tinggi dibandingkan kompetitor,” jelasnya dalam riset dikutip pada Jumat, 27 Desember 2024.
Prospek dan Target Saham
Namun, prospek ke depan masih penuh tantangan. CGS memperkirakan harga batu bara akan turun menjadi US$110–US$95 per ton pada 2025–2026, dibandingkan dengan US$135 per ton pada tahun 2024, akibat potensi kelebihan pasokan.
“Penurunan harga ini diperkirakan akan menekan pendapatan AADI menjadi US$4,4 miliar pada 2025, turun 16% secara tahunan, dan menjadi US$3,9 miliar pada 2026, turun 11% secara tahunan. Produksi batu bara diproyeksikan mencapai 66,9 juta hingga 68,3 juta ton pada periode yang sama, atau tumbuh 2% secara tahunan,” papar mereka.
Terkait laba bersih, CGS memperkirakan emiten bersandikan AADI akan mencatatkan laba inti sebesar US$756 juta pada 2025, turun 23% secara tahunan, dan US$645 juta pada 2026, turun 15% secara tahunan.
Dalam skenario dasar, CGS mengasumsikan rasio pembayaran dividen sebesar 40% pada 2025–2026, dengan asumsi pembayaran pinjaman sebesar US$106 juta dan belanja modal sebesar US$450 juta untuk pembangkit listrik. Rasio tersebut akan menghasilkan imbal hasil dividen sebesar 5,9–7,0%.
Dalam skenario optimistis (bull case), CGS mengasumsikan tidak adanya pembayaran pinjaman dan rasio pembayaran dividen sebesar 55%, yang diproyeksikan menghasilkan imbal hasil dividen sebesar 8,1–9,6%.
Sebaliknya, pada skenario pesimistis (bear case), dengan peningkatan belanja modal untuk tambang baru dan pembayaran pinjaman yang lebih tinggi kepada ADRO sebesar US$763 juta, rasio pembayaran dividen diperkirakan turun menjadi 25%, dengan imbal hasil hanya sebesar 3,7–4,3%.
Sebagai tambahan, sejak IPO pada 5 Desember 2024, saham AADI telah mengalami kenaikan sebesar 56% dan kini diperdagangkan pada valuasi 5,8x P/E tahun 2025. Valuasi ini dianggap wajar dibandingkan rata-rata perusahaan sejenis yang mencapai 6,7x.
Oleh sebab itu, CGS memulai coverage AADI dengan rekomendasi Hold dan target harga berbasis DCF sebesar Rp8.900, dengan asumsi WACC sebesar 12% dan usia tambang 7 tahun. CGS menilai risiko utama mencakup potensi penurunan harga batu bara serta kebijakan dividen yang lebih rendah.