Aktifitas pedagang telur di kawasan Pasar Anyar Kota Tangerang, Senin 27 Desember 2021. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Nasional

Harga Sembako Melambung, Inflasi Diprediksi Tembus 3 Persen

  • Harga bahan makanan dalam sebulan terakhir mengalami kenaikan yang sangat signifikan. Lonjakan harga sembako tersebut berpotensi meningkatkan inflasi di atas 3% tahun ini.

Nasional

Daniel Deha

JAKARTA -- Harga bahan makanan dalam sebulan terakhir mengalami kenaikan yang sangat signifikan. Lonjakan harga sembako tersebut berpotensi menekan ekonomi masyarakat di tengah kekhawatiran penyebaran varian Omicron.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan lonjakan harga pangan yang terjadi sejak akhir tahun lalu tersebut bakal memperbesar tingkat inflasi tahun ini.

Diperkirakan, inflasi tahunan bisa mencapai di atas 3%, lebih tinggi dari asumsi makro APBN 2022 yang mematok inflasi di level 3%.

"Saya kira inflasi tahun ini di atas 3 persen tapi enggak jauh dari 3 persen," katanya kepada TrenAsia.com, Senin, 3 Januari 2022.

Untuk diketahui, saat ini harga minyak goreng, cabai, dan telur ayam merupakan tiga bahan pangan yang paling krusial mengalami kenaikan. Per 2 Januari, harga minyak goreng di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur tembus Rp19.727 per kilogram (kg).  

Harga produk turunan kelapa sawit ini terus mengalami kenaikan sejak menjelang Natal dan Tahun Baru (Nataru) seperti dilihat di laman infopangan yang merupakan rujukan harga untuk semua pasar di DKI Jakarta.

Sementara itu, harga telur ayam ras melonjak hingga Rp30.872 per kg. Biasanya, harga jual eceran (HJE) berkisar di level Rp22.000-Rp24.000 per kg. Namun menjelang Nataru, harga telur ayam ras melesat bahkan mencapai hampir Rp37.000 per kg di beberapa kota.

Di sisi lain, harga cabai rawit merah tembus Rp98.404 per kg dan cabai rawit hijau sebesar Rp58.063 per kg. Padahal untuk harga normal, cabai rawit merah berada di kisaran Rp32.000-Rp40.000 per kg di Pasar Induk Kramat Jati.

Tauhid memperkirakan, lonjakan harga pangan tersebut berlangsung hingga Februari 2022 sebelum kembali menurun pada Maret.

Namun demikian, harga sembako diperkirakan kembali meningkat ketika mendekat momentum Ramadan pada bulan April mendatang.

Kecenderungan kenaikan harga pangan domestik kemudian berpengaruh terhadap inflasi pada kuartal pertama tahun ini yang diproyeksi juga berada di atas 3%.

"Di kuartal pertama tahun ini inflasi diperkirakan bisa di atas 3 persen," papar Tauhid.

Biang Kerok

Pedagang memilah cabai di lapaknya di salah satu pasar di Jakarta, Jum'at, 24 Desember 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Dia menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kenaikan harga pangan sejak bulan lalu. Untuk harga minyak goreng, kata dia, lebih dipengaruhi oleh lonjakan harga komoditas sawit di pasar internasional.

Ketika terjadi kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO) maka otomatis terjadi peningkatan produksi yang memperbesar biaya operasional. Dampaknya, harga produk turunan sawit ini pun ikut terkerek naik di pasaran.

"Harga minyak goreng yang naik tidak bisa dihindari karena sudah menyangkut harga internasional sehingga pemerintah tidak bisa ikut campur tangan," tutur Tauhid.

Terkait kenaikan harga telur, lanjut dia, disebabkan oleh permintaan domestik akibat pelonggaran pembatasan yang menyebabkan hotel, restoran dan rumah makan kembali dibuka. Dengan dibukanya sentra ekonomi tersebut, permintaan akan telur pun naik yang kemudian berpengaruh terhadap harganya.

Sementara itu, kenaikan harga cabai lebih disebabkan oleh turunannya pasokan, terutama di Pulau Jawa karena saat ini sudah memasuki musim hujan. Fluktuasi harga cabai lebih sering terjadi karena perubahan cuaca tersebut.

"Kalau cabai ini musiman. Sampai Februari masih tinggi harganya karena faktor cuaca, yang pertama. Kedua, kita ini ada masalah antara Jawa dan Sumatra untuk produsen itu enggak seimbang. Daerah-daerah di Sumatra itu harganya relatif stabil," kata Tauhid.

Meski harganya relatif tinggi untuk beberapa bahan pangan, Tauhid mengatakan bahwa inflasi di Indonesia mustahil mencapai angka 5% seperti yang terjadi di Amerika Serikat.

Hal itu karena, selain pemerintah memiliki ruang untuk mengintervensi harga pasar, misalnya melalui subsidi dan lainnya, tingkat konsumerisme masyarakat AS berbeda dengan Indonesia. Di AS, setelah dibukanya pembatasan setelah tahun 2020, inflasi mencapai 6,8% per November 2021 karena konsumsi masyarakat sangat tinggi.

"Mereka konsumerisme yang lebih tinggi dibanding kita," ungkap Tauhid.

Secara terpisah, ekonom Indef Berly Martawardaya memperkirakan bahwa inflasi tahun ini bisa mencapai 3,5% dengan proyeksi pertumbuhan di level 4,3%.

Menurut dia, motor utama pertumbuhan tersebut adalah jasa kesehatan dan informasi dan komunikasi (infokom) serta booming harga komoditas di pasar internasional meski kenaikan harga komoditas belum cukup berpengaruh terhadap gaji para pekerja sawit/tambang.

"Indef proyeksi pertumbuhan 2022 sebesar 4,3 persen dengan inflasi 3,5 persen," katanya.

Sementara itu, sektor pariwisata belum cukup mampu mendongkrak ekonomi tahun ini setelah tahun lalu cukup terkontraksi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kunjungan wisman ke Indonesia mencapai 153.200 kunjungan pada November 2021, naik 3,06% dibandingkan dengan Oktober 2021, dan 6,04% dibandingkan tahun lalu (yoy).

Menanggapi target Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengenai jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) sebesar 3,6 juta tahun ini, Berly mengatakan target tersebut masih sulit dicapai.

Dengan vaksinasi yang belum mencapai 80% yang menjadi syarat minimum terjadinya kekebalan kelompok (herd immunity), kunjungan wisman diperkirakan belum bergairah. Apalagi dengan adanya varian-varian baru COVID-19 yang terus bermutasi.

"Sektor pariwisata masih tumbuh lambat di 2022 karena vaksinasi Indonesia masih belum capai 80 persen dan kekhawatiran Omicron serta varian-varian berikut," pungkasnya.