rapat baleg.jpg
Nasional

Hasil Rapat Baleg Melabrak Putusan MK

  • DPR menunjukkan pembangkangan pada putusan MK yang final binding. Sikap itu merusak konstitusi dan aturan bernegara.

Nasional

Distika Safara Setianda

JAKARTA - Seperti diperkirakan sejumlah pihak, rapat Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada Badan Legislasi (Baleg) menjadi upaya untuk mengakali Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024. Keputusan  yang mengurangi ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah untuk semua partai politik peserta pemilu. 

Dalam rapat yang digelar 21 Agustus 2024 Baleg menyatakan keputusan MK tentang threshold  hanya berlaku buat partai politik yang tak punya kursi DPRD.  Ketentuan itu menjadi ayat tambahan pada Pasal 40 revisi UU Pilkada yang dibahas oleh panja dalam kurun hanya sekitar 3 jam rapat. 

Sementara itu, Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada yang mengatur threshold 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pileg tetap diberlakukan bagi partai-partai politik yang memiliki kursi parlemen. 

Baleg juga membuat kesepakatan terkait batas usia minimum calon kepala daerah untuk maju pilkada merujuk pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang dihitung sejak pelantikan. Itu artinya seseorang bisa mencalonkan diri calon gubernur dan wakil gubernur dengan syarat usia 30 tahun saat dilantik. Ini juga bertentangan dengan keputusan MK yang menyatakan batas usia 30 tahun adalah saat mendaftar. Keputusan Baleg mengacu pada keputusan dari Mahkamah Agung.

Rumusan DIM nomor 72 yang disetujui Panja RUU Pilkada itu berbunyi: "d. berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih."

Anggota Baleg dari Fraksi PDIP TB Hasanuddin mengungkapkan putusan  tersebut tak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Hari ini mau dipelajari karena ada seolah-olah ditayangkan seolah-olah sesuai dengan keputusan MK tapi ternyata setelah dipelajari tidak sesuai,” kata TB Hasanuddin di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu, 21 Agustus 2024. 

Menurutnya, bahan-bahan terkait putusan MK tidak ditampilkan, sehingga ia merasa ada keanehan dalam proses tersebut. “Iya, itu hanya set-set-set ketok aja begitu ya. Jadi begini, tadi yang ditayangkan itu konon sudah sesuai dengan putusan MK. Setelah diprint ternyata tidak, gitu,” ujarnya.

“Ini kan setelah ini masih ada pembicaraan. Kami fraksi mau diskusi dulu hasil print-printannya bukan hasil yang ditayangkan,” tambahnya.

Dia juga mengatakan, draf revisi UU Pilkada mengenai syarat baru ambang batas pencalonan di pilkada yang hanya berlaku untuk partai politik non-parlemen bertentangan dengan putusan MK.

“Ini bertentangan dengan Keputusan MK. Kalau keputusan MK itu adalah ya untuk semua kan. Ya di sini hanya ditulis untuk yang tidak memiliki kursi,” ujar dia.

Ia memastikan PDIP akan terus berjuang untuk memastikan demokrasi di Indonesia tetap berjalan sesuai dengan aturan. Hasanuddin menyatakan, mereka akan berupaya agar Revisi UU Pilkada tetap mematuhi asas terhadap Putusan MK.

Adapun putusan MA menyatakan, calon gubernur dan wakil gubernur harus berusia minimal 30 tahun saat dilantik sebagai pasangan calon. Namun, Baleg tidak mengikuti putusan MK nomor 70 yang menetapkan seseorang dapat maju dalam Pilkada jika berusia 30 tahun pada saat penetapan calon. Penetapan calon dijadwalkan pada 22 September 2024.

Melanggar Keputusan MK

Pengamat Hukum Tata Negara, Denny Indrayana menilai, DPR telah melanggar putusan MK yang bersifat final dan binding.

“Harusnya DPR tunduk pada putusan MK yamg final and binding untuk makna konstitusionalitas syarat umur. Pembangkangan kepada putusan MK akan merusak tatanan ketatanegaraan kita, apalagi oleh DPR yang seharusnya menjadi contoh,” ujarnya, Rabu, 21 Agustus 2024.

Menurutnya, tindakan DPR tersebut justru merusak tatanan konstitusi. Bahkan, cara DPR menetapkan aturan dengan memilih opsi tertentu dianggap sebagai upaya yang dipaksakan untuk memenangkan Pilkada oleh pihak tertentu. Ia menambahkan, DPR menunjukkan pembangkangan pada putusan MK yang final binding. Sikap itu merusak konstitusi dan aturan bernegara.

“Semuanya dipaksakan untuk strategi pemenangan Pilkada oleh oligarki parpol penguasa yang menyalahgunakan tirani mayoritas. Harus dilawan,” ungkapnya.

Ia mengatakan, sebenarnya tidak ada aturan yang lebih tinggi antara putusan MA dan MK. Namun, ia mengatakan putusan MK memiliki dasar konstitusional yang lebih kuat.