Ilustrasi pelaku penipuan digital.
Tekno

Hasrat Flexing Jadi Alasan Banyaknya Korban Penipuan Digital

  • Kurangnya literasi finansial dan keamanan digital, gaya hidup konsumtif, serta ketidakmampuan mengenali penipuan menjadi faktor utama yang membuat masyarakat rentan terhadap penipuan online.
Tekno
Idham Nur Indrajaya

Idham Nur Indrajaya

Author

JAKARTA – Perilaku konsumtif dan ingin cepat kaya menjadi alasan banyaknya korban penipuan di platform digital. Hal itu diungkap dalam webinar Makin Cakap Digital 2024 yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Kominfo menggelar acara webinar Makin Cakap Digital 2024 untuk komunitas di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, dengan fokus pada tema "Etika Bebas Berpendapat di Dunia Digital" pada Selasa, 12 Maret 2024. 

Acara tersebut digelar Kominfo dalam rangka meningkatkan literasi digital masyarakat, sejalan dengan visi Indonesia #MakinCakapDigital2024.

Tujuan dari kegiatan Makin Cakap Digital adalah meningkatkan literasi digital bagi 50 juta penduduk Indonesia. Pada tahun 2023, Indeks literasi digital Indonesia mencapai 3,65 dari skala 1 hingga 5, menunjukkan tingkat literasi digital yang sedang.

Relawan dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Rovien Aryunia, menyoroti bahwa ruang digital tidak hanya memberikan kemudahan tetapi juga membawa risiko, seperti penipuan online yang semakin marak.

Data dari Kominfo menunjukkan bahwa selama periode Agustus 2018 hingga Februari 2023, terdapat 1.730 konten penipuan online, dengan kerugian mencapai Rp18,7 triliun pada periode 2017-2021. 

Rovien menyatakan bahwa kurangnya literasi finansial dan keamanan digital, gaya hidup konsumtif, serta ketidakmampuan mengenali penipuan menjadi faktor utama yang membuat masyarakat rentan terhadap penipuan online.

“Mengapa kita bisa tertipu? Karena kita minim literasi finansial, minim literasi keamanan digital, gaya hidup dan mentalitas perilaku konsumtif, ingin cepat kaya, dan flexing,” papar Rovien dalam webinar, dikutip Kamis, 14 Maret 2024.

Sementara itu, Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur, Eko Pamuji, menegaskan perlunya keselarasan antara budaya digital dan dunia nyata. Namun, perubahan psikologis pengguna seringkali menimbulkan perbedaan antara keduanya.

“Ketika perkembangan teknologi informasi di dunia terus masif, maka gaya hidup berubah. Banyak juga pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di ruang digital. Inilah fenomena kita,” kata Eko.

Eko pun mengatakan, dewasa ini masyarakat umum sudah tidak malu mengekspresikan diri ketika berada di ruang digital. Hal ini karena adanya perasaan tidak diamati atau dikontrol. Akibatnya, netizen kerap mengumbar segala sesuatu di dunia digital. 

Moh Subaweh, Ketua Riset Teknologi Informasi dan Komunikasi (RTIK) Tulungagung, menyatakan bahwa selain menguasai perangkat teknologi, penting juga bagi masyarakat untuk memahami aplikasi yang mereka gunakan sehari-hari agar bisa memanfaatkannya secara maksimal dan produktif.

“Ketika sudah tahu, bisa menggunakan software (aplikasi) itu secara bijak, agar nantinya kita secara skill mampu, kita bisa memanfaatkannya lebih maksimal di dunia digital,” ujar Subaweh.