Hati-Hati! Sosial Media Bikin FOMO dan Perilaku Konsumtif, Ini Penjelasannya
- Penggunaan media sosial yang semakin meningkat sebagai kebutuhan utama terlebih sejak pandemi COVID-19 menyebabkan fenomena hiperrealitas yaitu kesulitan membedakan dunia nyata dan dunia maya.
Sains
JAKARTA - Penggunaan media sosial yang semakin meningkat sebagai kebutuhan utama terlebih sejak pandemi COVID-19 menyebabkan fenomena hiperrealitas yaitu kesulitan membedakan dunia nyata dan dunia maya.
Salah satu hal yang menyebabkan hiperrealitas tinggi adalah keberadaan influencer yang turut mempengaruhi tren di media sosial.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Tim Tim Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) Universitas Gadjah Mada (UGM) menunjukkan bahwa hiperrealitas mendorong perilaku konsumtif akibat adanya Fear of Missing Out (FoMO) atau rasa takut tertinggal.
Iklan yang menggoda, personalisasi rekomendasi, kemudahan pembayaran, dan frekuensi penggunaan media sosial turut berkontribusi dalam kemunculan perasaan FoMO. Platform jual beli juga menjadikan ketiadaan batasan nyata dan semu pada manusia sehingga perilaku konsumtif dan perasaan FoMO muncul tanpa disadari.
- Layani Pengisian Daya Kendaraaan Listrik di KTT AIS 2023, PLN Catatkan 941 Transaksi
- 7 Rekomendasi Wisata Dekat Sirkuit Mandalika, Nonton Balapan Sembari Plesiran
- Piala Dunia U-17, Momentum Bagi Pemain Muda Dilirik Klub-klub Besar Dunia
Perwakilan tim PKM-RSH Yuono Dwi Raharjo mengatakan “Perasaan FoMO membuat orang merasa tidak ingin tertinggal dengan yang lain dan mendorong untuk berperilaku konsumtif,”ujarnya.
Penelitian ini dilakukan berfokus mengenai FoMO dan perilaku konsumtif yang dialami oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang berada di Yogyakarta. Dengan mengangkat judul Efek Hiperrealitas terhadap FoMo: Studi Mixed Method Perilaku Konsumtif.
tim PKM-RSH UGM melakukan penelitian mengenai dinamika Hiperrealitas, FoMO, dan Perilaku Konsumtif yang terjadi pada masyarakat di Yogyakarta dan kemudian menganalisisnya dengan menggunakan dua pendekatan yaitu kuantitatif dengan analisis regresi mediasi dan pendekatan kualitatif dengan analisis tematik.
Yuono menjelaskan penelitian yang dilakukan selama empat bulan dengan responden masyarakat Yogyakarta bertujuan untuk melihat pengaruh dari fenomena konsumtif di Masyarakat. Penelitian pun menggunakan latar belakang social life untuk melihat fenomena secara mendalam.
“Perilaku konsumtif pada dasarnya merupakan fenomena terkini yang perlu dikaji secara mendalam guna mendapatkan solusi berupa regulasi untuk menekan situasi di masyarakat,” paparnya.
Penelitian mengambill sampel sebanyak 89 partisipan dengan rentang usia berbeda, yakni usia 18-35 tahun. Selanjutnya tim memilih 5 dari partisipan dengan baseline skor tertinggi untuk diwawancara.
Dari hasil penelitian, tim berhasil menunjukkan masyarakat merasa kesulitan dalam membedakan antara sesuatu nyata dan semu. Masyarakat pun mengalami perasaan kesal dan gelisah jika belum mendapatkan informasi yang diinginkan.
Dilakukan pula pencarian informasi berkaitan dengan keperluan kehidupan, hiburan, dan berita aktual. Perasaan pun berimbas pada kemunculan FoMO (Fear of Missing Out), yakni takut tertinggal apabila orang lain memiliki pengalaman atau informasi yang lebih berharga. Hasil tersebut ditunjukkan oleh 4 dari 5 partisipan yang mengalami gejala hiperrealitas terhadap FoMO.
Yuono bersama tim memaparkan pula kehadiran Fear of Missing Out (FoMO) dalam penggunaan media sosial. Diketahui bahwa perasaan takut tertinggal ternyata dapat mempengaruhi perilaku konsumtif dengan perbedaan dalam kecenderungan FoMO yang berkaitan perbedaaan rentang usia.
“Gejala yang dirasakan partisipan terkait FoMO, meliputi perasaan tidak percaya diri, kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan kontrol diri,” terangnya.
Tim penelitian berkesimpulan perkembangan era digital berdampak pada setiap individu. Kehadiran media sosial menimbulkan kondisi sulit dalam membedakan antara yang nyata dan semu dan berimbas pada munculnya perasaan takut tertinggal (FoMO). Hal ini ditandai dengan ketidakpercayaan diri sehingga individu memiliki kecenderungan menutupi kekurangannya melalui perilaku konsumtif.
Dengan ini diperlukan regulasi diri guna membantu mengatasi dampak negatif dari FoMO dan perilaku konsumtif dalam menciptakan masyarakat seimbang dan berkelanjutan. Regulasi berfokus pada aspek kontrol psikologis positif yang bertujuan mendorong pemikiran positif dalam kehidupan individu.
“Tentu saja penelitian ini masih memiliki keterbatasan, dan menjadi pertimbangan untuk penelitian selanjutnya terutama terkait soal jumlah dan lokasi partisipan, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan status pernikahan sebagai subjek yang akan diteliti,” tandas Yuono.