‘Hentikan Labelisasi Negatif pada Koperasi’
- Selama ini koperasi kerap diasosiakan sebagai lembaga keuangan yang berisiko dan rawan penyelewengan. Labelisasi itu dinilai merugikan koperasi sebagai salah satu pilar ekonomi nasional.
Nasional
JAKARTA—Selama ini koperasi kerap diasosiakan sebagai lembaga keuangan yang berisiko dan rawan penyelewengan. Labelisasi itu dinilai merugikan koperasi sebagai salah satu pilar ekonomi nasional. Setiap pihak didorong mendukung keberadaan koperasi dengan tidak mendiskriminasi atau memberikan citra negatif terhadap badan usaha tersebut.
Hal itu disampaikan Generasi Peduli Koperasi Indonesia (GPKI) dalam keterangan resminya, Senin 8 Agustus 2023. Belum lama ini koperasi kembali disorot setelah sebuah koperasi sekolah di Jawa Timur menjual seragam dengan harga selangit. Hal itu membuat Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengeluarkan moratorium penjualan seragam sekolah melalui koperasi sekolah.
Menurut Ketua GPKI Iqbal Alan Abdullah, tidak adil jika koperasi diidentikkan dengan kegiatan usaha yang rawan pelanggaran dan praktif negatif lain. “Pelanggaran bisa terjadi pada bentuk usaha apapun, mulai dari perseroan, firma, bahkan di BUMN dan BUMD. Perbankan atau lembaga keuangan lain juga punya potensi melakukan pelanggaran,” ujar Iqbal.
Pihaknya khawatir labelisasi negatif tersebut akan menggiring opini buruk terhadap koperasi di masyarakat. Menurut Iqbal, hal tersebut dapat membuat koperasi di Indonesia sulit berkembang bahkan lumpuh. “Kami berharap setop mengidentikkan koperasi dengan kuno, jadul, atau bermasalah,” ujar Iqbal.
- 5 Solusi Anti Grusa-grusu untuk Orang yang Mudah Stres dan Cemas
- 3 Kesalahan Umum Orang Tua Saat Memberi Makan Balita
- News Corp Australia Gunakan AI untuk Hasilkan 3.000 Artikel Per Minggu, Akhir Profesi Jurnalis?
Lebih lanjut, Iqbal mengapresiasi pernyataan Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita pada puncak peringatan Hari Koperasi Nasional (Harkopnas) ke-76 di Kota Padang, Sumatra Barat, beberapa waktu lalu. Menperin saat itu menyebut koperasi sebagai salah satu pilar ekonomi di era digital.
Dalam pernyataannya, Agus Gumiwang ingin melihat ke depan tercipta banyak koperasi berkategori entitas usaha besar. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya juga pernah mengemukakan harapannya agar koperasi Indonesia masuk 100 besar koperasi global. “Apa yang dibutuhkan koperasi di Indonesia saat ini adalah membangun optimisme,” ujar Iqbal.
Munculnya kecenderungan stigma buruk pada koperasi turut disoroti CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR), Suroto. Dia menyitir pernyataan Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) beberapa waktu lalu yang mengungkap 12 koperasi simpan pinjam melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam periode 2020-2022. Nilai tindak pidana pencucian uang itu mencapai Rp500 triliun.
Lembaga Sensitif Isu
Alih-alih memberikan data setengah-setengah, Suroto menilai PPATK mestinya membuka data 12 koperasi bermasalah tersebut. Hal itu, imbuhya, perlu dilakukan agar tidak merusak citra koperasi secara umum. “Lembaga keuangan adalah lembaga yang sensitif terhadap isu. Apakah berdampak kepada koperasi? Jelas, orang jadi takut. Bisa memicu terjadinya rush di koperasi yang lain,” ujarnya.
Selain itu, Suroto menyoroti Satuan Tugas Koperasi Bermasalah Kemenkop UKM yang tidak memberi kesempatan kepada anggota koperasi untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di koperasi. Menurut dia, setiap lembaga keuangan, tidak terkecuali koperasi, pasti memiliki risiko gagal bayar.
“Masalah tersebut mestinya dapat diketahui sumbernya melalui penyelenggaraan Rapat Anggota. Menurut hukum koperasi, Rapat Anggota Koperasi adalah merupakan forum tertinggi di koperasi,” ucapnya.