Hidup Berdampingan dengan Trauma Kekerasan Seksual
- Penting bagi kita untuk menyadari peran dan bantuan yang mungkin dapat kita berikan untuk korban kekerasan seksual sehingga mereka bisa merasa lebih baik.
Nasional
JAKARTA - Kekerasan seksual merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi oleh masyarakat dari waktu ke waktu. Dikutip dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, jumlah pengaduan kasus pada tahun 2022 menyentuh angka 457.895 kasus.
Jumlah tersebut bukanlah jumlah kasus yang sebenarnya terjadi di lapangan. Rahayu Purwa, penggiat LSM Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) dalam acara Workshop dan Fellowship “Kekerasan Seksual dan Media yang Berperspektif Korban” di Hotel Amrani, Solo beberapa waktu lalu mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan data ini tidak sesuai dengan data yang terjadi di lapangan.
Faktor tersebut di antaranya soal layanan pengaduan dan penanganan yang tidak berjalan dengan baik sehingga korban yang enggan melapor. Jumlah kasus kekerasan seksual yang tidak terlapor diprediksi jauh lebih banyak dibandingkan jumlah kasus yang dilaporkan.
- Lord Luhut: Mantan Tentara yang Tetap Bela Indonesia
- 5 Cara Cerdas Hentikan Orang Iseng yang Intip Ponsel Anda
- Teleskop James Webb: Observatorium Rp13 Triliun Ungkap Tabir Alam Semesta
Susianah Affandy, Anggota Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan kasus tersebut seperti “gambaran fenomena gunung es”. Banyak faktor yang membuat seseorang enggan melaporkan kekerasan seksual yang menimpanya seperti karena minimnya perlindungan, stigmatisasi sosial, hingga ketakutan.
Kasus Kekerasan Seksual yang Tidak Selesai Ditangani
Kasus kekerasan terhadap perempuan yang telah dilaporkan kepada lembaga berwenang, tidak serta-merta menemukan penyelesaian. Dilansir oleh TrenAsia.com dari situs resmi Komnas Perempuan pada Selasa, 12 Juli 2023, Catatan Tahunan (CATAHU) menuliskan dalam hal penanganan dan penyelesaian kasus, hanya sedikit informasi yang tersedia yaitu sekitar 15% dari total kasus yang dicatatkan oleh Lembaga layanan dan Komnas Perempuan. Upaya penyelesaian lebih banyak secara hukum (12%) dibandingkan dengan cara non hukum (3%). Sisanya, bahkan banyak kasus yang tidak ada informasi penyelesaiannya (85%).
Berbagai hal dapat menjadi kendala dalam penyelesaian kasus-kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk dalam substansi hukum yang terlihat dari penggunaan basis hukum dan pasalnya. Tak hanya itu, persoalan keterbatasan infrastruktur yang dibutuhkan untuk penyelesaian kasus, termasuk SDM, fasilitas dan anggaran berulang-ulang dikeluhkan oleh lembaga layanan untuk dapat menjalankan layanan secara optimal.
Sementara, kekerasan seksual berdampak pada kondisi psikologis, fisik, dan sosial korban, korban yang tidak melaporkan kasus kekerasan yang menimpanya tidak bisa mendapatkan penanganan, perlindungan dan pendampingan sebagaimana mestinya.
Saran Psikolog
TrenAsia.com berkesempatan untuk mewawancarai Maharani Tyas Budi Hapsari, M.Psi, Psikolog, Psikolog di Unit Konsultasi Psikologi Fapsi UGM dan Dosen Psikologi di UIN Raden Mas Said Surakarta. Ia mengungkapkan perasaan yang kerap dialami oleh korban pelecehan seksual. “Yang pasti dirasakan oleh korban itu adalah rasa takut dan rasa jijik kepada dirinya sendiri baik itu dilakukan oleh keluarga maupun dilakukan oleh orang lain.”
Lebih lanjut, Maharani menyarankan langkah-langkah psikologis yang bisa dilakukan korban pelecehan seksual untuk merasa lebih baik.
1. Penerimaan dan Pemaafan
Ia menyebut penting bagi korban untuk mulai menerima dan memaafkan “langkah pertama yang perlu dilakukan oleh korban adalah dengan acceptance dan forgiveness”. Langkah ini penting untuk dilakukan karena biasanya yang dirasakan korban ketika melihat pelaku atau mengingat kejadian adalah rasa jijik dan rasa benci. Maharani menyadari, proses ini tidak mudah terutama jika dilakukan secara mandiri, sehingga ia menyarankan korban untuk melakukan langkah kedua.
2. Meminta Bantuan
Langkah kedua adalah meminta bantuan terutama jika terdapat intensi untuk bunuh diri. Maharani menyarankan korban untuk meminta bantuan kepada orang tua atau orang terdekat namun jika korban merasa takut dihakimi, langkah paling aman yang dapat diambil adalah dengan pergi ke psikolog.
“Asking for help bisa dilakukan kepada orang tua atau orang terdekat di sekitarnya. Namun, jika korban takut untuk berbicara, takut dimarahi, takut di judge, langkah paling aman adalah dengan pergi ke psikolog”.
Lebih lanjut, Maharani mengatakan bahwa langkah paling prioritas yang harus dilakukan pada korban pelecehan seksual adalah dengan mengobati kondisi psikis korban, sebelum akhirnya melaporkan ke pihak berwenang dan mencari keadilan.
“Yang harus diobati terlebih dahulu adalah kondisi psikis korban, jadi diperlukan psikolog untuk mendapatkan terapi maupun konseling khusus untuk penerimaan dan fogiveness,” tambahnya.
3. Melaporkan Kepada Pihak Berwajib
Kedua langkah di atas dilakukan untuk mengembalikan kondisi psikis dan keberanian korban. Jika kedua langkah diatas telah dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah dengan melaporkan pelaku ke pihak berwajib untuk mendapatkan keadilan
“Selanjutnya, ketika korban telah memiliki kesiapan, keterbukaan, dan keyakinan, korban dapat melapor ke orang terdekat seperti keluarga, baru dengan dukungan keluarga korban dapat melaporkan pelaku ke kepolisian," ujar Maharani.
Proses hukum yang panjang dan terkadang tidak mulus kerap menjadi hambatan tersendiri bagi korban, sehingga penting bagi korban untuk memulihkan kondisi psikisnya terlebih dahulu.
Support System
Support system menjadi salah satu pihak yang memiliki peran penting dalam proses mengembalikan kondisi psikis korban. Sayangnya, dalam kenyataanya banyak teman atau keluarga yang tanpa sadar bersikap kurang tepat terhadap korban pelecehan seksual sehingga membuat korban menjadi merasa tidak nyaman alih-alih merasa mendapatkan dukungan.
Di kesempatan yang sama, Maharani juga memberikan saran-saran yang bisa dilakukan oleh support system ketika menghadapi teman atau keluarga yang mengalami pelecehan atau kekerasan seksual.
“Yang harus dilakukan oleh seorang support system ketika menolong permasalahan apapun yaitu permasalahan yang sifatnya traumatis yang pertama adalah bertanya. Tujuannya adalah untuk membuat korban merasa aman dan nyaman terlebih dahulu.”
Maharani menyarankan support system untuk bertanya apa kebutuhan korban saat ini.
“Pertama tanyakan dahulu apa yang bisa saya lakukan untukmu? Langkah ini bisa menjadi salah satu antisipasi supaya kita tidak salah langkah dalam memberikan dukungan kepada korban,” jelasnya.
Lebih lanjut, Maharani menyarankan support system untuk menjauhkan benda-benda tajam yang berpotensi digunakan korban untuk melukai dirinya terutama jika ada tendensi keinginan untuk melakukan tindakan bunuh diri dari sang korban
“Jika support system sering berinteraksi secara langsung, coba jauhkan benda-benda yang berpotensi melukai dirinya,” pungkasnya.
Setiap korban kekerasan seksual memiliki kebutuhan yang berbeda, sehingga penting bagi mereka untuk mendapatkan dukungan yang disesuaikan dengan kebutuhan individu mereka. Namun, pada umumnya kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan keamanan dan perlindungan, dukungan emosional, perawatan medis, konseling dan terapi, dukungan hukum, hingga rujukan dan akses ke layanan.
Penting bagi kita untuk menyadari peran dan bantuan yang mungkin dapat kita berikan untuk korban kekerasan seksual sehingga mereka bisa merasa lebih baik.
*Liputan ini merupakan bagian dari program Workshop dan Fellowship Kekerasan Seksual dan Media yang Berperspektif Korban yang diadakan AJI Solo dan AJI Indonesia