<p>Pertambangan nikel milik PT Vale Indonesia Tbk. (INCO). / Vale.com</p>
Industri

Hilirisasi Nikel Ciptakan Nilai Tambah dan Daya Tahan Ekonomi

  • JAKARTA – Pemerintah terus mendorong hilirisasi nikel yang dinilai dapat memberikan dampak positif bagi perkonomian negara dengan terbebas dari ketergantungan impor. Karena, hilirisasi memungkinkan peningkatan nilai rantai pasok produksi, serta menyelamatkan komoditas bijih nikel dari gejolak harga. Sehingga, aspek ekonomi sangat krusial atas keputusan kebijakan hilirasasi nikel di Indonesia. “Ketika keekonomian itu dikaitkan dengan pohon […]

Industri
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Pemerintah terus mendorong hilirisasi nikel yang dinilai dapat memberikan dampak positif bagi perkonomian negara dengan terbebas dari ketergantungan impor.

Karena, hilirisasi memungkinkan peningkatan nilai rantai pasok produksi, serta menyelamatkan komoditas bijih nikel dari gejolak harga. Sehingga, aspek ekonomi sangat krusial atas keputusan kebijakan hilirasasi nikel di Indonesia.

“Ketika keekonomian itu dikaitkan dengan pohon industrinya atau rantai pasok dari produk-produk hilir belum berjalan sesuai harapan,” kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Ridwan Djamaluddin dalam webinar Masa Depan Hilirisasi Nikel Indonesia pada Selasa, 13 Oktober 2020.

Sebab, di hulu pertambangan itu praktis lebih mudah dilakukan dengan keuntungan yang lebih besar. Namun, ketika tarik di hilir muncul istilah keekonomian bahwa nilai tambah keuntungan tidak seimbang dengan investasi besar.

“Inilah sedang kita coba sehingga keseimbangan itu terjadi,” tambah Ridwan.

Ridwan mengakui perencanaan keberadaan kawasan industri nikel selama ini tumbuh berkat dorongan dari pelaku industri. “Ini menyadari industri nikel itu penting,” tegasnya. Dorongan tumbuhnya industri pengolahan berdasarkan besarnya potensi nikel kadar rendah yang dimiliki oleh Indonesia.

Apa yang dimaksud konsep hilirisasi di sini tidak berhenti ketika mineral diproses menjadi setengah jadi (intermediate product). Melainkan, hilirisasi harus dikembangkan lebih jauh sampai produk menjadi bahan dasar atau pelengkap tahapan paling akhir dalam pohon industri.

Adapun, konsep nilai tambah itu juga bukan semata rasio antara harga produk terhadap harga bahan baku. Tetapi perannya sebagai salah satu instrumen untuk menambah kesejahteraan masyarakat.

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Minerba Irwandy Arif menjelaskan proses bijih nikel menjadi FeNi atau konsentrat, lalu diolah menjadi Ni-sulfat dan Co-sulfat. Setelah itu diproses lagi menjadi precursor yang menjadi bahan dasar material baterai.

“Dari bahan dasar baterai inilah dihasilkan baterai jenis lithium-ion battery,” ungkapnya.

Apabila hilirisasi ini dilakukan secara berkelanjutan dan terintegrasi akan mendukung kekuatan industri dalam negeri. Tanpa hilirisasi, industri dalam negeri akan selalu bergantung pada impor bahan baku, sehingga sangat rapuh dan mudah goyah oleh faktor non teknis dalam bentuk nilai tukar rupiah.

Neraca Sumber Daya Nikel

Merujuk data pemetaan Badan Geologi pada Juli 2020, Indonesia memiliki sumber daya bijih nikel sebesar 11.887 juta ton (tereka 5.094 juta ton, terunjuk 5.094 juta ton, terukur 2.626 ton, hipotetik 228 juta ton) dan cadangan bijih sebesar 4.346 juta ton (terbukti 3.360 juta ton dan terikira 986 juta ton).

Sedangkan untuk total sumber daya logam mencapai 174 juta ton dan 68 juta ton cadangan logam. Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara merupakan daerah dengan potensi terbesar hingga kini.

Eko mengungkapkan, kegiatan eksplorasi nikel harus terus berjalan agar Indonesia bisa lebih mandiri dalam produksi nikel. Eko menegaskan, melalui proses hilirisasi maka bisa menambah nilai tambah bagi negara.

“Kami di Badan Geologi juga giat ekplorasi (nikel) ini untuk rekomendasi wilayah baru laporkan ke Ditjen Minerba sebagai Wilayah Usaha Pertambangan. Potensi logam ikutan pada endapan nikel laterit perlu evaluasi dan identifikasi untuk bisa memanfaatkan nikel dengan lebih baik,” ujar Eko.

Berdasarkan rekomendasi Badan Geologi, Budi menjelaskan eksplorasi cebakan nikel lebih mudah diarahkan pada endapan mineral logam tipe laterit dibandingkan tipe primer karena potensinya lebih ekonomis. “Sejauh ini cadangan di laterit itu jauh lebih besar daripada yang primer,” kata Eko.

Indonesia sendiri telah menempatkan diri sebagai produsen bijih nikel terbesar di dunia pada tahun 2019. Dari 2,67 juta ton produksi nikel di seluruh dunia, Indonesia telah memproduksi 800 ribu ton, jauh mengungguli Filipina (420 ribu ton Ni), Rusia (270 ton Ni), dan Kaledonia Baru (220 ribun ton Ni).