Ilustrasi bank.
Perbankan

Himbara Berebut Sumber Dana dengan Pemerintah karena Likuiditas yang Mengetat

  • Kondisi likuiditas yang ketat memaksa bank untuk lebih cermat dalam mencari sumber pendanaan. Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dengan tujuan menarik aliran dana asing dan menstabilkan nilai tukar rupiah.

Perbankan

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Dalam rapat dengar pendapat dengan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI/BBNI) dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN/BBTN) di Gedung DPR pada Senin, 8 Juli 2024, Anggota Komisi VI DPR RI, Jon Erizal, menyoroti bagaimana Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) kini bersaing dengan pemerintah di pasar obligasi.

Kondisi likuiditas yang ketat memaksa bank untuk lebih cermat dalam mencari sumber pendanaan. Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dengan tujuan menarik aliran dana asing dan menstabilkan nilai tukar rupiah. 

“Negara juga jual bond-nya sendiri, surat utang sendiri. Kemudian bank-bank ini disuruh cari dana sendiri,” ujar Jon, dikutip Selasa, 9 Juli 2024. 

Jon mengusulkan agar masalah ini dibahas bersama dengan Komisi IX, Kementerian Keuangan, dan Kementerian BUMN. Ia menilai persaingan ini menyulitkan perbankan, terutama dengan tingkat imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) yang tinggi. 

Kekhawatiran Jon juga menyentuh kebijakan moneter Amerika Serikat. Ia meyakini bahwa bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), tidak akan menurunkan suku bunga acuannya hingga Desember tahun ini. 

"Kalau itu tidak turun, bagaimana perkembangan yang berkaitan dengan sumber dana ini?" tanya Jon. Ia menambahkan bahwa hal ini akan berdampak pada suku bunga kredit dan margin bunga bersih (NIM), yang diprediksi akan menurun. 

"Nanti lending rate, NIM-nya juga akan turun. Nggak mungkin naik lah, kalau naikkan berat semua pertumbuhan perbankan akan terganggu," ujar Jon.

Baca Juga: Likuiditas Ketat, NIM Bank KBMI 4 Tertekan oleh Perang Harga

Dua bank pelat merah, BNI dan BTN, mengakui bahwa likuiditas perbankan semakin ketat. Direktur Utama BNI, Royke Tumilaar, menyebutkan bahwa suku bunga acuan The Fed, yaitu Fed Fund Rate (FFR), bertahan di posisi 5,5%. 

Tingkat suku bunga yang tinggi ini diperkirakan akan bertahan dalam waktu yang lama, yang berdampak pada nilai tukar rupiah yang semakin melemah. 

"Rupiah pun tidak imun sehingga terdepresiasi sampai 21 Juni 2024 Rp16.450 year to date (ytd), hingga akhir Juni melemah 6,4%, lebih dalam daripada rata-rata negara berkembang lainnya 5,3%," jelas Royke.

Meskipun rupiah melemah terhadap dolar AS, Royke mengungkapkan bahwa investor asing mulai masuk ke Indonesia. Hal ini terlihat dari portofolio net inflow sebesar US$2 miliar ke pasar finansial pada semester I-2024. 

Senada dengan Royke, Direktur Utama BTN, Nixon L.P. Napitupulu, menyatakan bahwa likuiditas saat ini sangat mahal. A

kibatnya, BTN telah memangkas target pertumbuhan kredit tahun ini menjadi hanya 10-12%. Pada kuartal I-2024, pertumbuhan kredit BTN tercatat sebesar 14,8% year on year (yoy). 

"14,8% ini mungkin kita akan turunkan pertumbuhan hanya 10-12% di akhir tahun karena likuiditas yang cukup mahal, jadi jangan sampai kita salurkan kredit, lama-lama rugi. Kita salurkan lebih mahal daripada kalau kita beli lagi di market harga dananya," tandas Nixon.