Himpit IHT Kecil, Petani Ogah Dukung Simplifikasi Tarif Cukai Rokok
JAKARTA – Simplifikasi struktur tarif cukai digadang-gadang sebagai booster penerimaan negara sekaligus pengendalian konsumsi tembakau. Meski pernah diterapkan sebentar, penyederhanaan tarif secara ajaib dicabut tanpa kejelasan. Teranyar, kabar ini kembali santer terdengar lantaran pemerintah butuh duit untuk membiayai penanganan pandemi. Berbagai riset menunjukkan simplifikasi tarif cukai efektif menutup celah praktik penghindaran pajak oleh perushaan rokok […]
Industri
JAKARTA – Simplifikasi struktur tarif cukai digadang-gadang sebagai booster penerimaan negara sekaligus pengendalian konsumsi tembakau.
Meski pernah diterapkan sebentar, penyederhanaan tarif secara ajaib dicabut tanpa kejelasan. Teranyar, kabar ini kembali santer terdengar lantaran pemerintah butuh duit untuk membiayai penanganan pandemi.
Berbagai riset menunjukkan simplifikasi tarif cukai efektif menutup celah praktik penghindaran pajak oleh perushaan rokok besar yang artinya menghilangkan potensi penerimaan negara. Di sisi lain, petani dan beberapa industri rokok mengaku keberatan karena simplifikasi dinilai makin menghimpit industri kecil dan menengah.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Para pelaku industri meyakini bahwa penyederhanaan struktur cukai hanya akan mencederai sistem yang saat ini. Di mana struktur cukai sekarang dinilai telah menaungi secara adil seluruh pelaku industri hasil tembakau (IHT).
“Kami harap kenaikan cukai tidak tinggi-tinggi karena sudah terbukti menurunkan kesejahteraan petani,” kata Bupati Temanggung H.M. Al Khadziq dalam diskusi secara virtual, Selasa, 29 September 2020.
Tanggapan Petani
Disinggung soal penyederhanaan tarif cukai, Agus Parmuji dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menegaskan pihaknya sudah sejak awal menentang agenda ini. “Kami protes sejak tahun lalu agar jangan dilaksanakan karena IHT itu, kan, terbagi besar menengah, kecil.”
Dalam pandangannya, keberadaan pabrikan yang beragam akan menciptakan kompetisi penyerapan tembakau lokal, khususnya yang kualitasnya sedang. Karena tembakau kualitas sedang ini paling banyak diserap industri menengah ke bawah.
Hal tersebut didukung oleh penelitian dari Forum for Socio-Economic Studies (FOSES), beberapa dampak yang ditemukan antara lain adanya penyamaan tariff cukai sigaret kretek mesin (SKM) ke golongan sigaret putih mesin (SPM) menyebabkan tekanan terutama setelah penyetaraan cukai pada masing-masing golongan.
Cukai pada SKM golongan 1 menekan volume rokok sebesar 1,29%, setelah penyetaraan berubah menjadi 5,44%. Sedangkan pada SKM golongan 2 cukai menyebabkan penurunan volume rokok sebesar 3,27% setelah sebelumnya hanya menekan volume sebesar 2,75%.
Selain itu, penggabungan SPM dan SKM menyebabkan tekanan terhadap volume rokok. Penggabungan SKM dan SPM ke SM pada golongan 1 dengan batas produksi 3 miliar menyebabkan perusahaan langsung berkompetisi dengan perusahaan yang sudah mapan pada golongan tersebut.
Simulasi pada satu perusahaan yang beraktivitas pada golongan 2 SKM dan SPM menunjukkan adanya potensi penurunan volume hingga 45,66% dari volume rokoknya.
Riwayat Simplifikasi
Sebelumnya, penyederhanaan struktur tarif cukai tertuang dalam PMK 146/2017 tentang tarif cukai hasil tembakau (CHT). Dalam aturan tersebut, pemerintah akan menyederhanakan dari 12 layer pada tahun 2017 dan menjadi 5 layer pada 2021.
Tujuannya, untuk mengoptimalisasi penerimaan CHT, meningkatkan kepatuhan pengusaha pabrik serta penyederhanaan sistem administrasi di bidang cukai.
Sayangnya, kebijakan tersebut hanya berjalan satu tahun pada 2018 dan tidak dijalankan kembali. Hingga kini, struktur tarif cukai dengan 10 layer dipertahankan untuk tahun fiskal 2019.
“Struktur tarif yang diterapkan saat ini membuka peluang dan memberikan insentif bagi perusahaan besar multinasional untuk membayar cukai lebih rendah yang pada akhirnya berpotensi merugikan negara dalam jumlah besar,” ujar Sekjen Transparansi International Indonesia (TII) Danang Widoyoko.