<p>Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat (BPP) Hipmi Ajib Hamdani. / Facebook @AjibHamdaniHIPMI</p>
Industri

Hipmi: Alat Ukur Kartu Prakerja Tidak Jelas

  • Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) mendorong pemerintah untuk menggandeng organisasi-organisasi yang memiliki data pekerja untuk mengoptimalkan program Kartu Prakerja.

Industri
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) mendorong pemerintah untuk menggandeng organisasi-organisasi yang memiliki data pekerja untuk mengoptimalkan program Kartu Prakerja.

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat (BPP) Hipmi Ajib Hamdani mengatakan data tersebut misalnya dapat berupa jumlah orang yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), target pekerja yang membutuhkan upgrade kemampuan, dan berapa besar kemungkinan munculnya bibit pengusaha baru.

“Ini akan membantu Kementerian Perekonomian dalam menyaring orang-orang yang bisa mengikuti program Kartu Prakerja,” ujarnya dalam konferensi video di Jakarta, Senin, 27 April 2020.

Menurutnya, pemerintah memerlukan partner kuantitatif yang bisa memberikan penghitungan angka agar dapat dipertanggungjawabkan sebagai alat ukur, monitoring, dan evaluasi yang efektif. Angka yang dimaksud merujuk pada 5,6 juta penerima manfaat Kartu Prakerja.

“Bisa menjadi alat ukur untuk ke depannya dalam menggandeng infrastruktur yang ada di lapangan. Dari 5,6 juta penerima, untuk melihat setelahnya bagaimana,” kata Ajib.

Ia menambahkan, pemerintah perlu memberikan kejelasan kepada masyarakat terkait mekanisme penyaluran program ini. Ketika pemerintah mengeluarkan uang sejumlah Rp19,88 triliun untuk program ini, lanjutnya, alat ukur manfaatnya juga harus diberikan dalam bentuk angka.

Selain itu, ia juga menyoroti beberapa permasalahan dari impelementasi program Kartu Prakerja.

Pertama, tidak adanya alat ukur relevan yang dibangun untuk meningkatkan produktivitas masyarakat.

“Tidak ada ukuran yang jelas. Ada yang bisa masuk (lolos), ada yang tidak,” kata Ajib.

Kedua, tidak ada ukuran yang jelas apakah program ini efektif atau tidak.

“Misalnya, berapa persen yang bisa mendapatkan kerja setelah diberikan pelatihan ini, berapa banyak yang bisa jadi karyawan lagi setelah di-PHK,” tuturnya.

Oleh karena itu, ia menyarankan pemerintah untuk menggandeng organisasi seperti Hipmi, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), maupun lembaga lainnya yang dianggap memiliki data riil agar target penerima manfaat Kartu Prakerja bisa optimal dan tepat sasaran. (SKO)