HIPMI Mendesak Pemerintah Untuk Mempertimbangkan HPM Nikel di Pasar Domestik
JAKARTA – Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Mardani H. Maming, mendesak pemerintah agar segera menerbitkan harga patokan mineral (HPM) nikel dengan memperhatikan biaya produksi dan harga acuan internasional. Menurut data yang telah dikumpulkan oleh Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), dari sekitar 30 perusahaan nikel di seluruh Indonesia, diperoleh angka rata-rata harga pokok produksi (HPP) […]
Nasional & Dunia
JAKARTA – Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Mardani H. Maming, mendesak pemerintah agar segera menerbitkan harga patokan mineral (HPM) nikel dengan memperhatikan biaya produksi dan harga acuan internasional.
Menurut data yang telah dikumpulkan oleh Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), dari sekitar 30 perusahaan nikel di seluruh Indonesia, diperoleh angka rata-rata harga pokok produksi (HPP) bijih nikel sebesar US$20.34/MT (metrik ton).
Sedangkan harga di pasar domestik, untuk bijih nikel dengan kadar 1,8% dipatok sebesar US$20/MT sehingga penambang mengalami kerugian akibat ketidaksesuaian harga produksi tersebut.
“Kami ingin pemerintah ikut andil dengan cara mengambil jalan tengah supaya patokan HPM tidak merugikan penambang maupun smelter,” ujarnya dalam acara diskusi “Prospek Industri Nikel dalam Negeri” di Jakarta, Jumat, 28 Februari 2020.
Apabila mengacu dari harga internasional, saat ini bijih nikel kadar 1,8% Free on Board (FoB) di Filipina dipatok angka US$ 59-61/MT sehingga menurut Mardani, setidaknya pemerintah bisa memberikan harga yang wajar, yakni sekitar USD 38-40/MT di pasar domestik.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey juga mengungkapkan, larangan ekspor bijih nikel yang diberlakukan sejak 1 Januari 2020, telah menyebabkan para penambang dalam negeri mengalami kesulitan dalam menjual produknya. Hal itu ditambah pula dengan masalah penentuan kadar bijih nikel yang tidak boleh kurang dari 1,8%.
“Setelah ekspor dilarang, ada 3,8 juta bijih nikel kadar 1,7% di tujuh provinsi yang saat ini berhenti distribusinya,” ungkapnya di acara yang sama.
Besarnya kerugian yang dialami oleh para pengusaha tambang nikel pun mencapai Rp50 triliun. Selain itu, dampak lain juga menimpa perekonomian masyarakat, seperti para pekerja atau pemilik warung di sekitar tambang yang berpotensi kehilangan pekerjaan akibat pemberhentian distribusi nikel tersebut.