Nasional

Hukum Asing di Kredit Sindikasi BNI Rp6 T Ke Lippo Disorot

  • Ahli hukum perbankan Yunus Husein secara tegas mengatakan tidak ada alasan tepat penggunaan payung hukum Inggris dalam transaksi pinjaman sindikasi tersebut.
Nasional
Yosi Winosa

Yosi Winosa

Author

JAKARTA - Pinjaman sindikasi Rp6 triliun PT Bank BNI Tbk (BBNI) dan PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) kepada PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) kembali disorot. Pasalnya, pinjaman tersebut menggunakan payung hukum asing tepatnya hukum Inggris yang tak lazim dilakukan.

Koordinator Indonesia Financial Watch (IFW) Abraham Runga Mali mengatakan pihaknya mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk meminta klarifikasi dari pihak-pihak yang terlibat dalam pemberian kredit sindikasi berpayung hukum Inggris tersebut meski transaksi akad kredit itu dalam denominasi rupiah dan melibatkan tiga entitas perseroan di Indonesia, baik kreditur maupun debitur.

“Klarifikasi otoritas terkait itu perlu dilakukan sehingga duduk perkara pemberian kredit sindikasi Rp6 triliun itu menjadi terang-benderang demi asas akuntabilitas dan prudential banking,”  kata Abraham Rabu, 12 April 2023.

Menurut Abraham, penggunaan payung hukum Inggris dalam pemberian kredit sindikasi Rp6 triliun tersebut mengindikasikan transaksi tersebut tidak dilakukan di Bank BNI dalam negeri.

Awalnya IFW melihat sepintas pemberian kredit sindikasi Rp6 triliun tersebut adalah suatu praktik yang lumrah dalam bisnis perbankan. Dengan catatan, prosesnya sudah sesuai prosedur dan tidak ada ketentuan dan regulasi apapun yang dilanggar, pemberian fasilitas pinjaman oleh bank kepada suatu perusahaan memang sebuah kelaziman belaka. 

Namun, karena fasilitas itu nilainya besar (Rp 6 triliun), dan melibatkan salah satu bank BUMN (BNI), tampaknya perlu pengawasan lebih ketat dari pemangku kepentingan terkait, dalam hal ini Otoritas Jasa keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI).

Sependapat, Ahli hukum perbankan Yunus Husein secara tegas mengatakan tidak ada alasan tepat penggunaan payung hukum Inggris dalam transaksi pinjaman sindikasi tersebut.

Menurutnya, pilihan menggunakan payung hukum dan pengadilan asing bisa ditempuh hanya jika ada pihak-pihak yang terlibat baik debitur maupun kreditur yang berasal dari sistem hukum berbeda. Untuk itu sudah seharusnya transaksi pinjaman sindikasi tersebut menggunakan hukum Indonesia.

Pilihan menggunakan payung hukum dan pengadilan asing pun dinilai lebih berisiko karena beberapa hal seperti ketidaktahuan akan hukum asing, perlunya tenaga ahli yang bisa menjelaskan hukum asing serta penggunaan pengadilan asing jika terjadi dispute yang semuanya berujung pada biaya yang lebih besar.

Enggak ada alasan untuk pakai hukum luar bahkan meskipun aturan kita enggak lengkap atau sempurna ya. Mengingat aturan pinjaman sindikasi dari regulator kan sudah ada, kecuali di situ ada kreditur dari negara berbeda atau yang menganut payung hukum berbeda,” beber Yunus kepada TrenAsia.com, Rabu, 12 April 2023.

Jawaban BNI

Corporate Secretary PT Bank BNI Tbk Okki Rushartomo mengatakan penggunaan payung hukum asing dalam transaksi ini dimaksudkan agar lebih netral terutama bagi investor asing yang mungkin tertarik untuk bergabung dalam sebuah pinjaman sindikasi. 

Seperti diketahui, Bank CIMB Niaga Tbk yang bertindak sebagai mandated lead arrangers pinjaman sindikali kali ini memiliki track record dalam menggaet pool investor ataupun kreditur asing. 

“Biar lebih netral bagi investor atau kreditur asing yang mungkin tertarik joint sindikasi,” kata Okky kepada TrenAsia.com, Jumat 24 Februari 2023 lalu.

Tambahan informasi, dana pinjaman sindikasi yang diraih LPKR itu digunakan untuk melakukan pembayaran kembali (refinancing) atas sebagian kewajiban perseroan untuk dua surat utang senior dengan nilai total US$845 juta atau setara Rp12,9 triliun dengan asumsi kurs Rp15.270 per dolar AS.

Seusai menggenggam dana tersebut, perseroan langsung mencairkan sebagian kredit sindikasi sebesar Rp3,9 triliun yang dipergunakan untuk menuntaskan tender offer obligasi senior 2025 dan 2026 dengan nilai US$224,73 juta atau sekitar Rp3,44 triliun. 

Pembelian kembali (buyback) dua surat utang itu dilakukan perseroan melalui anak usahanya, Theta Capital Pte. Ltd. dengan nilai US$116,26 juta atau setara Rp1,78 triliun untuk obligasi senior 2025 dan US$108,47 juta atau sekitar Rp1,66 triliun untuk obligasi senior 2026.

Kredit sindikasi sebesar Rp6 triliun yang diterima LPKR diberikan oleh BNI dan CIMB Niaga menjadi sorotan di tengah meningkatnya sejumlah kontroversi yang melibatkan Grup Lippo, misalnya gagal serah unit properti proyek Meikarta yang berujung pada konflik antara perusahaan dengan para konsumen. Kisruh ini bahkan mendapat perhatian DPR RI, sehingga para petinggi Grup Lippo sempat dipanggil ke Senayan demi menjelaskan duduk perkara.

Belum lagi situasi PT Bank Nationalnobu Tbk (NOBU) yang masih menghadapi kesulitan untuk memenuhi ketentuan OJK terkait dengan modal inti minimum Rp3 triliun yang seharusnya dipenuhi maksimal pada akhir Desember 2022 yang akhirnya merger dengan MNC Bank demi memenuhi ketentuan regulator terkait modal inti minimum.

Di saat Grup Lippo menghadapi berbagai sorotan itu, Bank BNI justru mengambil langkah berani dengan bertindak sebagai bank rekening, bersama Bank CIMB Niaga sebagai mandated lead arrangers dan bookrunners pinjaman sindikasi Rp6 triliun untuk Lippo Karawaci.

Pemberian kredit dari BNI ke LPKR dilakukan saat Silvano Winston Rumantir menjabat sebagai Group Managing Director Corporate and International Banking BNI. Mestinya hanya suatu kebetulan belaka bahwa Silvano merupakan anak dari mantan petinggi dalam kelompok usaha Lippo, Andre Rumantir.

Adapun kredit sindikasi ini memiliki bunga 7DDR+2,5%  per tahunnya dengan tenor 84 bulan atau tujuh tahun, jauh lebih kecil dibandingkan dengan bunga yang ditawarkan pada obligasi senior 2025 dan 2026.