<p>Pernyataan bersama Ikatan Dokter Indonesia</p>
Nasional

IDI Minta Kemenkes Tunda Pengesahan RRP Kesehatan dan Menunggu Keputusan MK

  • Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengingatkan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes), untuk tidak terburu-buru mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan.
Nasional
Distika Safara Setianda

Distika Safara Setianda

Author

JAKARTA - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengingatkan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes), untuk tidak terburu-buru mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan.

Hal ini dikarenakan payung hukum dari RPP Kesehatan tersebut, yakni Undang-Undang (UU) Kesehatan, masih dalam proses gugatan atau judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga berpotensi terjadi ketidaksesuaian regulasi.

“Sebaiknya (pengesahan RPP Kesehatan) secara bijak menunggu putusan MK terkait Uji Formil,” jelas Wakil Ketua Umum II Pengurus Besar IDI, dr. Mahesa Pranadipa Maikel, kepada wartawan.

“Toh, juga di dalam pasal peralihan Undang-Undang menyebutkan selama belum ada peraturan baru, maka peraturan lama dari turunan UU yang lama masih dinyatakan berlaku.”

Mahesa selaku Koordinator Judicial Review UU Kesehatan ini menyampaikan, saat ini proses gugatan UU Kesehatan sedang berjalan di MK dan akan memasuki sidang kelima. Sidang sebelumnya, yaitu sidang keempat, agendanya menghadirkan DPR dan pemerintah.

Namun, DPR berhalangan hadir sehingga akan diagendakan pada sidang berikutnya.

Mahesa melanjutkan pihaknya menilai Kemenkes seolah sedang dikejar target karena ingin segera mengesahkan RPP Kesehatan. Meski begitu, tegasnya, dengan situasi seperti saat ini, maka percepatan tersebut hanya mengesankan ketergesaan pemerintah tanpa pertimbangan yang matang.

Melihat pengalaman sebelumnya, terdapat potensi besar untuk terjadi ketidaksesuaian antara peraturan turunan dengan peraturan induknya, terlebih jika gugatan dikabulkan oleh MK, baik itu seluruhnya maupun sebagian.

“Jangan memaksakan dengan menerbitkan surat edaran yang tidak diamanahkan oleh UU, yang mengubah aturan, sedangkan RPP belum tuntas dibahas. Kementerian (Kesehatan) jangan menimbulkan kekisruhan dalam sistem kesehatan yang selama ini telah terbangun,” ia mengingatkan.

Sejauh ini, memang tidak ada perintah dari MK untuk menunda pembahasan RPP Kesehatan selagi judicial review UU Kesehatan sedang berjalan. Namun, jika uji formil dikabulkan, maka RPP dapat dibatalkan. “Jika Uji Formil dikabulkan dengan keputusan membatalkan UU Kesehatan, tentu PP-nya ikut batal demi hukum.

Jika putusannya sebagaimana UU Ciptaker (perbaikan teknis, prosedur, dan tata cara penyusunan UU), maka akan banyak isi RPP yang tidak sejalan dengan revisi UU,” tegasnya.

Para pemohon untuk Perkara Nomor 130/PUU-XXI/2023 ini terdiri atas IDI dan empat organisasi profesi kesehatan lainnya, yaitu Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI)

Ada pula Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

Seluruh organisasi tersebut menilai UU Kesehatan sebagai Cacat Formil.

Cacat Formil dimaksud karena dalam penyusunannya, UU Kesehatan tidak melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kemudian, para pemohon di hadapan sidang MK, juga mendefinisikan kembali makna otonomi daerah dan pendidikan serta penjelasan tentang pentingnya meaningful participation (partisipasi bermakna) dalam pembuatan norma UU.

Dalam petitumnya, permohonan pengujian formil UU Kesehatan dinyatakan tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU sesuai UUD 1945. Sehingga, UU dimaksud dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Di kesempatan terpisah, Kuasa Hukum Sekretariat Bersama (Sekber) Organisasi Profesi Kesehatan, Muhammad Joni, mengungkapkan para pemohon telah menyempurnakan petitum, yakni permohonan pengujian formil UU Kesehatan dalam tenggang waktu yang sah sesuai ketentuan yang berlaku.

”Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang sesuai UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujarnya membacakan petitum.