Karyawan beraktivitas dengan latar layar monitor pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, 8 September 2022. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Pasar Modal

IHSG Anjlok Lagi, Investor Menanti Rilis Bank Sentral AS

  • Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tampaknya tidak semulus layaknya Desember di tahun-tahun sebelumnya.
Pasar Modal
Fakhri Rezy

Fakhri Rezy

Author

JAKARTA - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tampaknya tidak semulus layaknya Desember di tahun-tahun sebelumnya. Memasuki pekan ketiga Desember 2022, IHSG masih lanjutkan kejatuhan pada pagi ini.

Riset Pilarmas Investindo menunjukan, penurun IHSG dikarenakan penantian akan data inflasi Amerika pada 13 Desember 2022.Secara proyeksi, data inflasi Amerika mengalami penurunan dari sebelumnya 7,7% akan turun menjadi 7,2% - 7,3%.

"Sejauh ini kami melihat IHSG membutuhkan angin Surga untuk dapat mengubah arah," kutip riset tersebut.

Pada prediksi awal, pilarmas Investindo memperdiksi IHSG akan menurun dengan probabilitas 65% menuju 6.750. Akan tetapi kenyataannya ditutup 6.715 di hari Jumat, 9 Desember 2022.

"Sehingga mendorong penurunan lebih lanjut lagi akan terjadi. Dengan tingkat
probabilitas 72%, IHSG berpotensi menuju 6.610," lanjut riset.

Adapun harapan untuk mengubah penurunan tersebut apabila IHSG ditutup di atas 7.130. Selain itu, adanya data ekonomi AS yang mendorong optimisme untuk mulai hadir di pasar.

Pasar obligasi juga akan bertahan, mencermati situasi dan kondisi yang ada. Namun bagi pasar obligasi, diperkirakan imbal hasil akan tetap mengalami kenaikkan untuk dapat mengkompensasi kenaikkan tingkat suku bunga The Fed dan kenaikkan imbal hasil US
Treasury.

"Tentu saja, apabila data inflasi Amerika kembali turun, hal ini akan menjadi sebuah tanda lonceng pertama di mana akan memberikan rasa optimistis bagi pelaku pasar dan investor bahwa inflasi dapat dikendalikan bahkan mengalami penurunan," kutip riset tersebut.

Hal ini sama seperti bulan-bulan sebelumnya sejak bulan Juni hingga November, di mana inflasi perlahan tapi pasti mulai mengalami penurunan dan memberikan sentimen positif bagi pelaku pasar dan investor. Pasalnya mereka beranggapan bahwa inflasi yang terkendali, tentu akan membuat The Fed tidak akan terlalu aggressive dalam menaikkan tingkat suku bunganya.

Namun di satu sisi, seperti yang kita ketahui, bahwa The Fed juga tidak akan berhenti untuk mendorong kenaikkan tingkat suku bunganya hingga inflasi dapat benar benar terkendali. Pengetatan kebijakan moneter yang terjadi pada The Fed saat ini merupakan pengetatan kebijakan moneter tercepat sejak tahun 1980-an.

Sejauh ini The Fed sudah menaikkan tingkat suku bunga sebanyak 75 bps dalam 4 kali pertemuan berturut turut. Saat ini tingkat suku bunga berada di level 3,75%, dan tidak menutup kemungkinan akan menaikkan tingkat suku bunga hingga 4,25% - 4,50%, berarti ada ruang untuk mengalami kenaikkan sebanyak 50 bps – 75 bps.

Jika kenaikan tersebut dilakukan, maka ini akan menjadi level tertinggi bagi the Fed sejak tahun 2007 silam.

"Kami melihat, Powell lebih suka secepatnya mencapai puncak dari kenaikkan tingkat suku bunga, agar mereka cepat dapat bertahan hingga tahun 2023 mendatang, sebelum pada akhirnya melihat inflasi bergerak stabil sebelum melakukan penurunan tingkat suku bunga," kutip riset tersebut.

Jika dalam perhatian selama dlam kurun waktu 5 siklus kenaikan suku bunga, , dalam kurun waktu 5 siklus kenaikkan tingkat suku bunga, rata rata tingkat suku bunga bertahan di titik tertingginya selama 11 bulan. Nantinya, inflasi stabil dan pada akhirnya mendorong The Fed untuk bersikap lunak.

Saat ini pelaku pasar dan investor juga menanti pesan yang akan disampaikan Powel. Sejauh ini pelaku pasar dan investor masih bertaruh, bahwa kenaikkan tingkat suku bunga akan berada di titik tertingginya sekitar 5% pada periode Mei dan June 2023. Inflasi juga diharapkan akan mengalami penurunan di kisaran 3% - 3.5% pada tahun depan.