logo
Pekerja berjalan di depan layar yang menampilkan pergerakan saham di Mail Hall Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta 17 Oktober 2023. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Bursa Saham

IHSG Jeblok, Mengapa Investor Ramai-ramai Tinggalkan Indonesia?

  • Sejak Oktober 2024, investor asing telah mencatatkan arus keluar modal (capital outflow) yang signifikan dari pasar keuangan Indonesia.

Bursa Saham

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Pasar keuangan Indonesia menghadapi tekanan berat sepanjang tahun 2024 hingga awal 2025. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus melemah, diikuti oleh arus keluar modal asing yang masif. 

Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar: mengapa investor asing berbondong-bondong meninggalkan pasar keuangan Indonesia? Berikut analisis TrenAsia mengenai faktor-faktor yang memicu hal tersebut.

Arus Keluar Modal Asing Meningkat Signifikan

Sejak Oktober 2024, investor asing telah mencatatkan arus keluar modal (capital outflow) yang signifikan dari pasar keuangan Indonesia. 

Pada 25 Desember 2024 saja, net sell tercatat sebesar Rp5,13 triliun, dengan rincian net buy Rp1,24 triliun di pasar saham, net sell Rp1,37 triliun di Surat Berharga Negara (SBN), dan net sell Rp5,00 triliun di Sertifikat Bank Indonesia (SRBI). 

Secara keseluruhan, sejak pekan kedua Oktober 2024 hingga akhir tahun, total arus keluar modal asing mencapai Rp47 triliun. 

Tren ini terus berlanjut hingga Februari 2025, di mana capital outflow mencapai Rp19 triliun, sementara aliran masuk (inflow) ke SBN hanya Rp706 miliar. 

Saham-saham yang paling banyak dilepas oleh investor asing berasal dari sektor perbankan dan energi, seperti Bank Central Asia (BBCA) senilai Rp4,19 triliun, Bank Mandiri (BMRI) sebesar Rp4,18 triliun, Barito Renewables Energy (BREN) sebesar Rp457,6 miliar, serta Chandra Asri Pacific (TPIA) sebesar Rp333,9 miliar.

Daya Tarik Investasi di Amerika Serikat  

Salah satu faktor utama yang mendorong arus keluar modal asing dari Indonesia adalah menguatnya dolar AS dan tingginya suku bunga di Amerika Serikat. 

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menyebut fenomena ini sebagai "Invest in America," di mana investor global lebih memilih menempatkan dananya di AS karena imbal hasil yang lebih tinggi serta stabilitas ekonomi yang lebih terjamin di tengah ketidakpastian global.

Pada bulan Februari 2025, meskipun imbal hasil US Treasury 10 tahun turun ke 4,27%, instrumen tersebut masih lebih menarik dibandingkan aset keuangan di Indonesia. 

Selain itu, indeks dolar AS (DXY) yang stabil di bawah 107 semakin memperkuat daya tarik investasi di Negeri Paman Sam, membuat arus modal asing semakin deras keluar dari pasar domestik.

Pelemahan IHSG dan Ketidakpastian Pasar

IHSG mengalami pelemahan signifikan sepanjang 2024 hingga awal 2025, dengan penurunan 1,8% pada 27 Februari 2025 ke level 6.485,5. 

Sejak peresmian BPI Danantara pada 24 Februari 2025, IHSG telah melemah hampir 5%. Pelemahan ini dipicu oleh berbagai faktor, termasuk ketidakpastian global akibat kebijakan tarif impor baru yang diterapkan oleh mantan Presiden AS Donald Trump. 

Trump memberlakukan tarif 25% untuk Meksiko dan Kanada serta 10% untuk China, efektif mulai 4 Maret 2025, yang meningkatkan risiko ketegangan perdagangan global. 

Selain itu, rebalancing Indeks MSCI turut menekan pasar, dengan bobot Indonesia dikurangi dari 2,2% menjadi 1,5%. 

Tiga saham besar Indonesia, yakni PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP), dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), dikeluarkan dari indeks, semakin mempersempit ruang investasi asing di pasar saham domestik.

Melemahnya Rupiah dan Tekanan Ekonomi Domestik

Nilai tukar rupiah mengalami tekanan signifikan pada Februari 2025, melemah ke level Rp16.450 per dolar AS. 

Pelemahan ini dipicu oleh tingginya capital outflow, yang mengurangi pasokan dolar AS di pasar domestik, serta rendahnya optimisme investor terhadap prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

Dalam situasi ini, Bank Indonesia (BI) diharapkan dapat mengambil kebijakan yang lebih pro-growth untuk meningkatkan kepercayaan pasar. 

Salah satu wacana yang berkembang adalah kemungkinan pemangkasan suku bunga pada bulan Ramadan atau kuartal II-2025. Namun, langkah ini berisiko memicu inflasi musiman, terutama akibat peningkatan permintaan valuta asing selama periode tersebut.

Dinamika Global dan Dampaknya

Ekspektasi pemangkasan suku bunga AS meningkat seiring dengan pelemahan indeks saham AS, seperti Dow Jones dan S&P500, yang mengalami tren penurunan sejak pekan terakhir Februari 2025. 

Namun, hal ini belum cukup untuk mengalihkan perhatian investor ke pasar emerging markets seperti Indonesia.

Peluang Pemulihan

Meski menghadapi tekanan, terdapat peluang bagi pasar keuangan Indonesia untuk pulih. Salah satu faktor yang dapat mendorong pemulihan adalah pelemahan indeks dolar AS (DXY), yang berpotensi menarik kembali aliran dana asing ke pasar domestik. 

Selain itu, kebijakan propertumbuhan dari Bank Indonesia (BI) dan pemerintah juga diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan investor. 

Langkah-langkah seperti pemangkasan suku bunga, insentif investasi, serta stabilisasi nilai tukar rupiah dapat menjadi katalis positif bagi pasar keuangan Indonesia ke depan.

Arus keluar modal asing dan pelemahan IHSG pada 2024 - 2025 dipicu oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Ketidakpastian global, daya tarik investasi di AS, dan kebijakan perdagangan Trump menjadi penyebab utama. 

Untuk mengembalikan kepercayaan investor, diperlukan langkah - langkah strategis dari otoritas keuangan Indonesia, termasuk kebijakan moneter yang lebih propertumbuhan dan upaya stabilisasi nilai tukar rupiah.