IHSG Sesi I Terguncang, BMRI dan BBNI jadi Saham Bank Jumbo Terboncos
- IHSG sesi pertama tampak terguncang oleh keputusan The Fed soal suku bunga. Pelemahan ini diikuti saham-saham bank jumbo dengan penurunan terdalam dirasakan BMRI dan BBNI.
Bursa Saham
JAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada penutupan perdagangan sesi pertama Kamis, 2 Mei 2024, ambruk 117,60 poin atau 1,63% ke level 7.116,59. Pelemahan ini diikuti saham-saham bank jumbo dengan penurunan terdalam dirasakan BMRI dan BBNI.
IHSG terguncang oleh keputusan The Fed yang mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 5,25-5,50% untuk yang keenam kalinya berturut-turut pada Rabu, 1 Mei 2024, waktu AS, yang lalu. Selama sesi pertama indeks composite bergerak di kisaran 7.112 – 7.234.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), mayoritas indeks sektoral terkulai lemas. Begitu juga dengan performa emiten sebanyak 392 saham menguap, 191 saham tidak bergerak dan hanya 191 saham yang menguat. Adapun kapitalisasi pasar terjun ke level Rp12.003 triliun.
Baca Juga: IHSG Dibuka Loyo, Saham BMRI, BBRI dan BBNI Kebakaran
Guncangan IHSG jelas juga tak bisa dipisahkan oleh performa empat bank jumbo yang pada penutupan perdagangan sesi pertama ini kompak melemah di atas 1%. Pelemahan terdalam dirasakan oleh PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang ambruk 8,70% ke level Rp6.300 per saham.
Dari sisi frekuensi, saham perbankan plat merah yang memiliki logo pita emas berada di angka 57.875. Adapun volume perdagangan dan nilai turn over BMRI pada perdagangan hari ini masing-masing di level 254 juta lembar dan Rp1 triliun.
Selanjutnya, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) yang lemah tidak berdaya 6,29% ke level Rp4.920 per saham. Adapun frekuensi saham ini di angka 20.203 dengan volume perdagangan 65 juta lembar dan nilai turn over senilai Rp329 miliar.
Baca Juga: Adaro Mineral Indonesia (ADMR) Raih Laba Bersih Rp1,8 Triliun di Kuartal I 2024
Di posisi ketiga, ada saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) yang melemah 4,05% ke level Rp4.740 per saham. Adapun frekuensi saham di angka 83.666 dengan volume perdagangan 327 juta lembar dan nilai turn over Rp1 triliun.
Sementara itu, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjadi bank jumbo dengan pelemahan paling tipis, yakni 1,02% ke level Rp9.700 per saham. Adapun frekuensi saham di angka 15.821 dengan volume perdagangan 35 juta lembar dan nilai turn over Rp348 miliar.
Pelemahan saham perbankan jumbo juga terpantau dari tidak berdayanya indeks sektor keuangan yang terkulai kurang lebih 2,6%. Disusul dengan pelemahan sektor transportasi 1,7%, sektor barang konsumsi non primer 1,%, sektor properti 1,4% dan sektor barang baku 1,3%.
Baca Juga: Adaro Energy Indonesia (ADRO) Bukukan Laba Capai Rp6 Triliun hingga Kuartal I-2024
Di tengah kebanyakan indeks sektoral merosot pada penutupan perdagangan sesi pertama, terjadi penguatan pada sektor Kesehatan yang menguat 0,5% dan sektor industri yang mengalami kenaikan sebesar 0,1%.
Dari lantai bursa Asia, mayoritas indeks saham menghijau. Misalnya, Hang Seng (Hong Kong) melonjak 2,2% dan Strait Times (Singapura) melesat 0,3%. Sedangkan Nikkei (Tokyo) turun tipis 0,01%. Sementara itu, Shanghai (Shanghai) libur.
Suku Bunga AS
Ketua The Fed Jerome Powell menyatakan bahwa proses menuju inflasi yang mencapai target 2% Fed membutuhkan waktu lebih lama dari yang diharapkan, sehingga kemungkinan penurunan suku bunga dalam waktu dekat menjadi kurang mungkin.
"Kita bisa bersabar. Saya tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan," kata Powell dikutip dari Bloomberg, pada Kamis, 2 Mei 2024.
Powell mengisyaratkan bahwa The Fed akan memutuskan untuk memangkas suku bunga hanya jika bank sentral yakin bahwa inflasi kembali ke target 2%, tanpa memberikan indikasi waktu yang jelas.
Sebelumnya, Head of Research Phintraco Sekuritas Valdy Kurniawan mengatakan IHSG berpeluang lanjutkan rebound pada perdagangan Kamis, 2 Meil 2024, dan berpeluang menguji resistance level di 7.250 hari ini.
Menurutnya, sentimen datang dari kepastian bahwa tidak akan ada kenaikan suku bunga acuan oleh The Fed yang berpotensi meredam capital outflow yang menyebabkan pelemahan nilai tukar Rupiah.
Sentimen positif juga berasal dari pelemahan signifikan harga minyak. Brent bahkan sudah kembali ke bawah asumsi APBN 2024 di US$80/barel. Kondisi ini meredam kekhawatiran lonjakan inflasi di AS dan kekhawatiran penyesuaian harga BBM di dalam negeri.