Karyawan melintas di depan layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta,   Selasa, 7 Juni 2022. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Pasar Modal

IHSG Terus Melemah, Bagaimana Momentum 'Santa Rally' Pekan Ini?

  • Tampaknya momentum 'Santa Rally' di penghujung akhir tahun 2022 tidak akan membuat IHSG kembali menghijau secara signifikan.
Pasar Modal
Fakhri Rezy

Fakhri Rezy

Author

JAKARTA - Tampaknya momentum 'Santa Rally' di penghujung akhir tahun 2022 tidak akan membuat pasar saham mendapatkan sentimen positif. Walaupun terdapat harapan, namun keputuasaan tetap ada di dalamnya.

Menurut riset Pilarmas Investindo, sentimen yang akan datang yaitu dari pertemuan Bank Sentral Indonesia yang diperkirakan menaikkan kembali tingkat suku bunga acuannya. Hal ini karena The Fed sendiri menaikkan Fed Rate-nya 50 bps.

Hal ini tentu saja meringankan langkah Bank Indonesia dalam menaikkan tingkat suku bunganya, karena tekanan dari The Fed juga menjadi lebih terbatas.

Secara dampak, tentu akan masih terasa kurang baik ketika tingkat suku bunga dinaikkan, tapi karena naiknya terbatas, hal ini akan meringankan dampak yang dihasilkan. Meskipun penyesuaian merupakan salah satu langkah yang harus dilakukan," kutip riset tersebut.

Selain itu, harapan akan datang dari data pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) kuartal III-2022 yang diprediksi sama atau mengalami penurunan dibandingkan sebelumnya. Data yang tidak kalah pentingnya adalah data Durable Goods Order yang diperkirakan akan mengalami penurunan.

Kedua data penting ini saja sudah diproyeksikan mengalami penurunan, belum lagi data Personal Income, Personal Spending, dan Personal Consumption juga ikut diproyeksi mengalami penurunan. Data ini menjadi salah satu point penting yang harus diperhatikan, setelah data sebelumnya PMI Manufacturing, Composite, dan Services mengalami penurunan kembali dari sebelumnya.

"Hal ini semakin menunjukkan perekonomian yang kian melambat di tengah kenaikkan tingkat suku bunga The Fed," kutip riset tersebut.

Apalagi, Gubernur The Fed Jerome Powell akan memiliki panutan baru dalam membuat keputusan tingkat suku bunga tahun depan, dimana upah akan menjadi salah satu pertimbangan yang akan di perhatikan oleh The Fed. Powell sendiri mengatakan dirinya akan melihat upah yang cakupannya mulai dari perawatan kesehatan hingga staycation di motel.

Karena menurut Powell, upah merupakan variable biaya yang sangat besar untuk industry jasa tersebut, terlebih lagi pasar tenaga kerja memegang kunci untuk dapat memahami inflasi. Saat ini Powell menilai bahwa upah tumbuh jauh lebih konsisten apabila dibandingkan dengan inflasi.

"Pertanyaan buat The Fed saat ini adalah, apakah kenaikkan upah yang terjadi di Amerika selama 18 bulan terakhir, lebih kepada perusahaan yang menyesuaikan diri dengan pasokan tenaga kerja yang kian langka ataukah lebih dikarenakan kesadaran bahwa tenaga kerja harus diberikan kompensasi lebih?" kutip riset tersebut.

Hal ini yang membuat antara inflasi dan upah saling mendukung satu sama lain atau yang lebih dikenal dengan spiral upah. Sejauh ini apa yang dikhawatirkan Powell bukanlah tanpa alasan, maka dari itu Powell memberikan proyeksi tingkat suku bunga The Fed lebih tinggi untuk tahun depan yang berada di 5,1% untuk menekan inflasi.

Spiral upah merupakan sesuatu yang nyata, apalagi kalau memperhatikan bahwa ada kekhawatiran kekurangan tenaga kerja yang berkepanjangan telah memberikan implikasinya terhadap inflasi. Sebelumnya, waktu Covid 2020, tingkat pengangguran meningkat dengan cepat hampir 15% pada bulan April 2020, namun pulih dengan cepat.

Namun ketika pandemic hampir berakhir, banyak Angkatan kerja yang mulai pensiun dini sehingga menyebabkan tenaga kerja menjadi berkurang. Hal inilah yang membuat para karyawan memiliki daya tawar yang lebih tinggi untuk mendorong perusahaan memberikan gaji yang lebih tinggi untuk mampu melakukan persaingan mendapatkan tenaga kerja.

Sejauh ini total biaya kompensasi yang diberikan dalam kurun waktu 12 bulan naik 5%, dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya berkisar 3,7%. Namun pembayaran riil mengalami penurunan, karena inflasi yang mengalami kenaikkan. Sejauh ini belum ada bukti yang pasti terkait dengan spiral upah yang pernah terjadi pada tahun 70an.

Menurut IMF, hal tersebut juga jarang terjadi. Oleh sebab itu focus utamanya adalah menyeimbangkan kembali pasar tenaga kerja seperti yang mereka inginkan tanpa harus memicu resesi. Oleh sebab itulah, The Fed kemarin memasang target bahwa tahun depan akan ada pengganguran yang mengalami kenaikkan hingga 4,6%, atau boleh dikatakan hampir ada lebih dari 1 juta orang Amerika akan kehilangan pekerjaan.

Rasa sakit tersebut akan menjalar, hanya demi mengendalikan inflasi agar dapat melambat hingga pada target yang mereka inginkan, yaitu 2% pada tahun 2025 mendatang. Apalagi The Fed ingin terjadi soft landing.

Sentimen kedua dari China, data penting yang harus dinantikan adalah data tingkat suku bunga 1yr dan 5yr Loan Prime Rate yang diperkirakan juga tidak akan berubah. Data ini juga tidak terlalu memberikan pengaruh karena pelaku pasar dan investor lebih terfokus kepada varian Covid yang terus menyebar.

Jumlah kematian dikabarkan mengalami peningkatan, meskipun China tidak memberikan Informasi mengenai Covid selama 2 minggu. Sejauh ini China tampaknya kesulitan dalam menghadapi gelombang Covid yang masih mempengaruhi stabilitas pemulihan ekonomi di China.

Sejauh ini kebijakan Zero Covid telah mengundang unjuk rasa yang dimana pada akhirnya membuat Pemerintah China melunakkan kebijakannya untuk menenangkan aksi unjuk rasa. Penyebaran Covid yang kian massive di China telah membuat pasokan global terganggu, dan dikhawatirkan akan mendorong inflasi berpotensi mengalami peningkatan akibat supply yang tidak bisa mengikuti demand.

Sejauh ini perekonomian China juga masih berada dalam tekanan akibat penyebaran Covid, hanya saja masalahnya China tidak mau memberikan data yang sah terkait dengan data Covid, alih alih mereka menjaga perspektif dari negara lainnya terhadap bagaimana China dapat mengendalikan Covid.