cigarettes-g7c3eb320d_1280.jpg
Nasional

Iklan Disalahkan Gara-gara Jumlah Perokok Anak Meningkat, Dewan Periklanan: Tidak Sepakat!

  • Dewan Periklanan Indonesia berpendapat jika jumlah kenaikan perokok anak bukan disebakkan iklan rokok melainkan didasari oleh banyak faktor.

Nasional

Alvin Pasza Bagaskara

JAKARTA– Pelaku industri periklanan menegaskan bahwa praktik serta etika penayangan iklan rokok di Indonesia sudah berjalan ketat sesuai aturan. Adapun kenaikan jumlah perokok anak disebabkan banyak faktor sehingga dirasa tidak adil jika disimpulkan kepada wacana pelarangan total iklan rokok.

Ketua Badan Musyawarah Regulasi Dewan Periklanan Indonesia sekaligus Anggota Tim Perumus Etika Pariwara Indonesia, Herry Margono, menegaskan tidak fair (tidak adil) jika investasinya diizinkan tapi iklannya dilarang. “Totally banned [dilarang sepenuhnya] saya tidak sepakat,” tegasnya.

Herry melanjutkan pihaknya setuju dengan pembatasan iklan rokok sesuai dengan peraturan yang berlaku sekarang. Berbagai aturan tersebut juga telah dilakukan secara taat. “Mulai dari [aturan] penayangan [hanya boleh] dari jam 9.30 malam sampai pukul 5 pagi. Kami sudah menaati peraturan tersebut,” terusnya.

Melihat dari faktor jam tayang iklan saja, Herry merasa tidak habis pikir jika dinyatakan memiliki dampak besar terhadap anak-anak. “Apakah anak menonton tv di jam 9.30 malam sampai jam 5 pagi?” tanyanya.

Demikian juga dengan penayangan iklan rokok di platform media sosial, yang menurut Herry, semestinya anak-anak tidak bisa dibebaskan untuk mengakses platform media sosial. “Media sosial itu bukan medianya anak-anak. Ada batasan umur penggunanya,” kata Herry.

Lebih lanjut Herry menjamin bahwa pedoman serta etika periklanan di Indonesia termasuk iklan rokok telah disusun sedemikian rupa oleh para pihak berkompeten. Perumusan acuan tersebut melibatkan asosiasi yang bergerak di bidang periklanan dan dimonitor oleh badan pengawasnya.

Herry menegaskan bahwa seluruh regulasi berkaitan dengan iklan rokok saat ini sudah mumpuni. Tidak ada kelemahan dari sisi regulasi. “Masalah lemah kuat itu bukan masalah aturannya, itu masalah penegakkannya. Tapi kembali lagi kalau dari kami bisa di cek sangat minim pelanggaran terkait beriklan rokok,” tegasnya.

Jika seandainya iklan rokok dilarang total, Herry mengatakan, selain menciptakan ketidakadilan karena investasinya sebagai produk legal diizinkan juga dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap perputaran perekonomian Indonesia. Dampaknya bukan saja terhadap industri pertembakauan tetapi juga secara spesifik terhadap industri periklanan dan media.

“Belanja iklan rokok itu terbilang besar. Artinya, iklan dari industri ini bisa untuk menghidupi biro iklan dan media periklanan, bisa TV, radio, media luar ruang (OOH), digital. Memang artinya industri periklanan masih butuh iklan dari rokok juga, apakah biro iklannya, medianya (TV, media cetak, online, radio, dan lainnya). Mereka (iklan rokok) sering jadi andalan,” ungkapnya.

Terpisah, juru bicara Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) Moddie Alvianto sependapat bahwa munculnya wacana pelarangan total iklan rokok adalah berlebihan. “Tinggal bagaimana pemerintah yang berwenang menegakkan dan mengimplementasikannya,” ujarnya.

Menanggapi survei dalam bentuk jajak pendapat yang dilakukan salah satu media tentang dampak iklan rokok terhadap kenaikan jumlah perokok anak, kata Moddie, akar masalah kenaikan jumlah perokok anak lebih kepada banyak faktor lain. Bukan sekadar salah iklan sehingga tiba-tiba muncul wacana untuk dilarang sepenuhnya. Lebih lanjut pihaknya memaparkan bahwa data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru yaitu Januari 2023, angka jumlah perokok usia muda terjadi penurunan menjadi 3,44%.