<p>Ilustrasi vaksin COVID-19. / Reuters</p>
Industri

Ilusi Saham Emiten Farmasi: Ketika Investor Berspekulasi, Bukan Menakar Valuasi

  • Saham emiten farmasi anak usaha holding BUMN PT Bio Farma (Persero) yakni PT Kimia Farma (Persero) Tbk (KAEF) dan PT Indofarma (Persero) Tbk (INAF), serta emiten farmasi swasta PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) meroket tajam beberapa waktu terakhir.

Industri
Fajar Yusuf Rasdianto

Fajar Yusuf Rasdianto

Author

JAKARTA – Momentum. Diksi pamungkas yang digunakan banyak investor untuk meletakkan dananya di sebuah saham perusahaan pada waktu tertentu. Seperti sekarang, banyak investor yang rupanya kepincut dengan saham-saham emiten farmasi lantaran pandemi COVID-19 dianggap sebagai momentum bagi industri farmasi meraup cuan.

Tetapi benarkah faktanya demikian? Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Honesti Basyir menilai, anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Betul bahwa pendapatan beberapa lini bisnis farmasi menguat selama pandemi. Namun sebaliknya, beban perusahaan juga semakin berat.

Hal itu terjadi lantaran saat ini harga bahan baku obat juga turut meningkat drastis. Semua negara saling berebut bahan baku obat dari India dan China. Sedangkan, para pemasok juga cenderung menahan ekspor bahan bakunya untuk menjaga ketersediaan dalam negeri sendiri.

Dengan hukum permintaan dan penawaran, situasi ini jelas membuat harga bahan baku obat meningkat tajam. Belum lagi jika ditambah dengan nilai kurs rupiah yang bergerak fluktuatif selama beberapa bulan belakangan. Itu, kata Honesti, menyebabkan harga bahan baku obat meningkat sampai 5 kali lipat dibandingkan dengan waktu normal.

Tak pelak, Indonesia yang 90% bahan baku obatnya masih impor pun turut merasakan dampak dari kenaikan harga itu. Hal ini, sambung dia, menyebabkan pengeluaran emiten-emiten farmasi pun melebar.

“Jadi, memang meskipun revenue-nya ada peningkatan tipis. Tapi dari sisi output-nya juga meningkat cukup tajam,” ungkap Honesti saat rapat bersama Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin 6 Oktober 2020.

Direktur Utama PT Bio Farma (Persero), Honesti Basyir saat hadir dalam rapat dengar pendapat holding farmasi BUMN dengan Komisi VI DPR di komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 5 Oktober2020. Rapat membahas kondisi aktual perusahaan dalam penanganan COVID-19 dan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), serta membahas profit dan operasional perusahaan, termasuk soal harga obat COVID-19. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Bio Farma

Hal ini terbukti dari paparan kinerja holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) farmasi yang menaungi PT Kimia Farma (Persero) Tbk (KAEF) dan PT Indofarma (Persero) Tbk (INAF) itu pada semester I-2020. Di beberapa lini tampak ada peningkatan, namun di sisi lain beban perusahaan juga semakin besar.

Terlihat dari sisi pendapatan, Bio Farma hanya mampu mencatatkan nilai Rp5,79 triliun. Angka ini merosot 44% dibandingkan dengan kinerja holding pada tahun lalu yang mampu menyentuh angka level Rp13,3 triliun.

Selanjutnya, dari sisi laba bersih, kinerja konsolidasi perusahaan juga tercatat mengalami pelemahan 40% dibandingkan dengan tahun lalu. Jumlahnya anjlok dari Rp891 miliar menjadi Rp356 miliar pada semester I-2020.

Honesti menjelaskan, turunnya laba bersih ini disebabkan oleh masifnya ekspansi perseroan sebelum adanya COVID-19. Mulai dari pembangunan pabrik bahan baku hingga pelebaran jalur distribusi.

“Laba bersih agak berat karena memang banyak costcost yang mungkin harus kita pertimbangkan. Terutama cost yang timbul dari financing karena memang sebelum COVID kami cukup agresif untuk melakukan ekspansi,” terang dia.

Tak pelak strategi ekspansi itu pun turut mengerek jumlah kewajiban holding sepanjang semester I-2020. Kewajiban konsolidasi perusahaan tercatat naik dari Rp13,63 triliun menjadi Rp13,8 triliun per Juni 2020.

Sementara ekuitas holding justru terkoreksi menjadi Rp13,56 triliun di semester I-2020. Nilai itu turun 3,5% dibandingkan dengan ekuitas konsolidasi perusahaan pada akhir 2019 yang menyentuh Rp14,06 triliun.

“Kewajiban memang ada kenaikan yang cukup lumayan karena memang kita tidak hanya membutuhkan pendanaan dari pemerintah. Tapi juga membutuhkan dana dari pihak ketiga,” kata dia.

Sebagai catatan saja, kinerja holding BUMN ini hanya bisa diukur sejak akhir tahun 2019. Sebab holding farmasi sendiri baru dibentuk pada Januari 2020.

Apotek PT Kimia Farma (Persero) Tbk (KAEF) / Dok. Perseroan
Kimia Farma

Selain itu, kenaikan pendapatan yang dibarengi dengan pertumbuhan beban juga terlihat pada kinerja Kimia Farma di semester I-2020. Emiten bersandi saham KAEF ini hanya mencatatkan kenaikan 1,7% pada perolehan laba bersihnya sepanjang enam bulan pertama 2020.

Laba itu naik dari Rp47,75 miliar pada semeseter I-2019 menjadi Rp48,57 miliar per Juni 2020. Peningkatan laba ini ditunjang oleh kenaikan pendapatan sebesar 3,6% dari Rp4,52 triliun menjadi Rp4,52 triliun pada periode yang sama.

Minimnya pertumbuhan laba dan pendapatan ini tidak lepas dari kenaikan beban pokok perseroan dari Rp2,86 triliun menjadi Rp2,89 triliun. Plus, kenaikan beban usaha dari Rp1,4 triliun menjadi Rp1,5 triliun.

Direktur Utama Kimia Farma Verdi Budidarmo menjelaskan, tingginya beban perseroan ini disebabkan oleh adanya kenaikan beban bunga perseroan dari Rp224,63 miliar menjadi Rp293,2 miliar pada semester I-2020. Sekaligus juga adanya penundaan piutang perusahaan yang menyebabkan pendapatan laba juga turut tertekan.

“Ditambah tertundanya pendapatan yang kurang-lebih di angka Rp900 miliar,” terang dia, Senin 5 Oktober 2020.

BUMN farmasi PT Indofarma Tbk. (INAF) / Dok. Perseroan
Indofarma

Kinerja yang tidak begitu apik juga ditunjukkan oleh emiten farmasi BUMN lainnya, yakni Indofarma. Sepanjang semester I-2020, Indofarma tercatat masih mengalami kerugian Rp4,66 miliar. Angka ini susut 80% dari rugi bersih periode yang sama tahun sebelumnya, yakni Rp24,35 miliar.

Penyusutan kerugian ini disebabkan oleh adanya peningkatan pendapatan yang naik 17,54% dari Rp368,81 miliar menjadi Rp447,29 miliar per Juni 2020.

Direktur Utama Indofarma Arief Pramuhanto menjelaskan, peningkatan pendapatan ini rerata disumbangkan oleh produk-produk yang berkaitan dengan penanganan COVID-19. Produk-produk itu antara lain, obat antiviral, antibiotik, vitamin dan alat kesehatan (alkes).

“Secara umum di farmasi dan alkes untuk produk terkait penanganan COVID memang ada peningkatan. Tetapi di kategori lainnya ada yang stabil dan ada yang mengalami penurunan,” ungkap Arief kepada TrenAsia.com, Minggu 4 Oktober 2020.

Tetapi di sisi lain, perseroan rupanya masih mencatatkan beban keuangan yang cukup besar, yakni Rp18,69 miliar. Plus liabilitas yang cukup tinggi, yakni Rp1,05 triliun. Jumlah itu meningkat dari liabilitas di periode yang sama tahun lalu sebesar Rp878,99 miliar.

Menurut Arief, untuk memutarbalikkan kinerja Indofarma menjadi untung memang masih dibutuhkan waktu. Pasalnya, dari sebelum dia bekerja di Indofarma, kondisi keuangan perusahaan memang sudah tidak sehat.

Indofarma, sambung dia, masih sangat bergantung kepada tender dan langganan besar untuk menyambung hidup. Sehingga ketika tender tersebut hilang, maka otomotis pendapatan perseroan pun ikut lenyap.

Namun demikian, Arief meyakini bahwa perseoran bisa tetap mendapat untung dari momentum pandemi COVID-19. Diharapkan, pada akhir tahun nanti perseroan dapat membukukan laba bersih setidaknya Rp22 miliar.

“Tahun ini kita berharap usahakan semaksimal mungkin sehingga bisa mendapatkan keuntungan sebesar Rp22 miliar,” ucap dia.

Kantor PT Kalbe Farma Tbk. / Kalbe.co.id
Kalbe Farma

Di luar dari emiten farmasi pelat merah, ada nama PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) yang pendapatannya juga cukup tertekan oleh penambahan beban. Pendapatan Kalbe tercatat naik 3,7% dari Rp11,17 triliun pada periode yang sama tahun lalu menjadi Rp11,6 triliun pada semester I-2020.

Pertumbuhan pendapatan ini turut menjadi katalis bagi laba bersih perseroan yang meningkat 9,28% dari Rp1,27 triliun menjadi Rp1,4 triliun. Direktur Utama Kalbe Farma Vidjongtius mengungkapkan, perolehan laba dan pendapatan itu lebih banyak disumbang oleh produk-produk kesehatan dan distrbusi.

“Produk vitamin, suplemen, herbal, alat kesehatan dan diagnostika,” kata Vidjongtius lewat pesan teks pekan lalu.

Sayangnya, pertumbuhan laba dan pendapatan ini juga rupanya diikuti dengan peningkatan beban pokok dan liabilitas perseroan. Tercatat pada semester I-2020, beban pokok Kalbe Farma telah mencapai Rp6,35 triliun. Naik 5,51% dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp6 triliun. 

Selanjutnya, liabilitas perseroan juga tercatat meningkat 27,49% dari Rp3,55 triliun menjadi Rp4,91 triliun. Peningkatan liabilitas ini banyak disumbang oleh utang jangka pendek perseroan yang melesat dari Rp149,63 miliar menjadi Rp753,08 miliar. Plus utang lain-lain yang naik menjadi Rp629,45 miliar dari sebelumnya Rp496,08.

Meski demikian Vidjongtius meyakini bahwa pendapatan perseroan tahun ini bisa tumbuh lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Target itu dicanangkan mengingat Kalbe Farma juga turut berperan dalam upaya penanganan COVID-19. Termasuk dengan penjualan obat Remdesivir bermerek dagang Covifor yang baru-baru ini diluncurkan.

“Proyeksi pertumbuhan sales 2020 diperkirakan sekitar 4-6%,” kata dia.

Pewarta memperhatikan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jum’at, 25 September 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Prediksi Analis

Dengan mencermati kinerja emiten farmasi pada semester I-2020 ini, CEO Finvesol Consulting Indonesia Fendy Susianto pun menilai valuasi perusahaan farmasi saat ini belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Nilai itu, kata dia, tidak sesuai jika dibandingkan dengan kenaikan harga saham beberapa emiten farmasi yang sudah melonjak tajam dalam beberapa bulan belakangan.

Misalnya saja, kenaikan saham KAEF yang melesat 59,54% sejak awal tahun hingga penutupan perdagangan Senin 5 Oktober 2020 dari Rp1.250 menjadi Rp3.090 per lembar. Lalu saham INAF yang melompat tinggi 69,58% dari Rp955 pada awal tahun menjadi Rp3.140 per lembar.

Kenaikan ini, sambung Fendy, cenderung spekulatif karena tidak sesuai dengan valuasi perusahaan yang sebenarnya. Hal itu dapat terkonfirmasi dari laporan keuangan kedua perusahaan yang menunjukkan bahwa sebetulnya perseroan sedang dalam kesulitan likuiditas.

Itu mengapa pemerintah pun harus mengucurkan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada holding farmasi Bio Farma sebesar Rp2 triliun.

“Itu menurut saya reaksi berlebihan yang sedang dilakukan para investor. Jadi lebih ke arah spekulatif karena valuasinya sendiri yang existing tidak sebesar itu,” terang Fendy yang juga merupakan pembawa acara podcast OmFin yang disiarkan TrenAsia.com.

Meski demikian, Fendy mengakui bahwa kedua emiten ini memang sedang dinaungi sentimen positif lantaran telah ditunjuk pemerintah sebagai distributor vaksin COVID-19. Namun, untuk melihat valuasi sebenarnya dari kedua perusahaan ini, investor perlu menunggu setidaknya hingga 2021.

Pada saat itu, barulah investor dapat menilai berapa valuasi perseroan sebenarnya dengan cara menghitung berapa besar margin yang didapat perusahaan dari pendistribusian vaksin. Sebab jika tidak, kelak pasar akan melakukan koreksi naturalnya kepada dua emiten ini.

Sebagaimana diketahui, Kimia Farma dan Indofarma memang telah ditunjuk pemerintah untuk mendistribusikan vaksin COVID-19. Dana yang disiapkan untuk penyaluran vaksin ini ditaksir mencapai Rp21 triliun.

“Pada akhirnya nanti pasar akan melakukan koreksi sampai melihat pada harga kewajaran emiten farmasi itu,” kata dia.

Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim saat berbincang dalam program Podcast OmFin Channel yang dipandu analis dan pendiri Finvesol Consulting Indonesia Fendi Susiyanto di Kantor Redaksi TrenAsia.com / Dok. TrenAsia.com
KLBF Lebih Rasional

Pendapat senada juga disampaikan Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee. Menurut dia, kenaikan yang terjadi pada saham KAEF dan INAF cenderung timbul lantaran ekspektasi investor yang terlalu tinggi.

Hal tersebut, sambung dia, bisa menyebabkan pasar melakukan koreksi dalam beberapa waktu mendatang mengingat perkembangan vaksin COVID-19 juga belum menemukan titik terang. Bagi dia, ide investasi kedua saham ini lebih tepat jika dilakukan pada semester I-2021 ketika vaksin telah ditemukan.

Maka itu, ketimbang berinvestasi di KAEF dan INAF, Hans pun lebih merekomendasikan investor untuk membeli saham KLBF. Hal itu mengingat saham KLBF masih belum ‘tergoreng’ jauh seperti halnya yang terjadi pada saham KAEF dan INAF.

Bahkan sejak awal tahun, saham KLBF cenderung bergerak landai dari Rp1.615 per lembar menjadi Rp1.565 pada perdagangan bursa Senin 5 Oktober 2020. Kapitalasasi KLBF juga terlihat masih cukup normal di angka Rp73,36 triliun.

“Kalbe belum naik banyak (harganya), jadi lebih menjanjikan keuntungannya,” tegas dia. (SKO)