<p>Karyawati menunjukan mata uang Rupiah dan Dolar AS di Jakarta, Kamis, 18 Februari 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Imbal Hasil SBN Tinggi, Penyaluran Kredit Perbankan Makin Seret

  • Imbal hasil atau yield Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer dan sekunder mendatangkan implikasi terhadap kredit perbankan
Industri
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Kebijakan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer dan sekunder rupanya mendatangkan implikasi terhadap kondisi intermediasi di perbankan. Yield atau imbal hasil SBN yang semakin tinggi diyakini membuat industri perbankan semakin tertarik menanamkan uangnya ketimbang menyalurkan kredit.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Agus Herta Sumarto menuturkan pemerintah seharusnya bisa lebih mengendalikan yield SBN. Pasalnya, yield SBN yang tinggi diklaim tidak mendukung kebijakan Bank Indonesia (BI) yang telah menekan suku bunga acuan ke level 3,5%.

“Sekarang saya melihat SBN, tingkat kuponnya tinggi sekali hampir 7%. Percuma kalau BI menurunkan suku bunga acuan, tapi pemerintah tidak mendukung,” tutur Agus dalam diskusi virtual, Senin, 20 September 2021.

Menghimpun data dari Refinitiv, yield SBN tenor 25 tahun per 16 September 2021 tercatat telah menembus 7,19%. Sementara SBN tenor 10 tahun memiliki yield di angka 6,16%.

Selain menjegal penyaluran kredit, tingkat yield SBN yang tinggi juga ikut memiliki kaitan terhadap rendahnya tingkat inflasi di Indonesia. Permintaan kredit, kata Agus, dikhawatirkan tidak terserap optimal lantaran perbankan mengalihkan portofolionya ke SBN.

Padahal, kredit perbankan merupakan sumber dana untuk ekspansi bisnis pelaku usaha sekaligus menggairahkan kembali perekonomian. Walhasil, kondisi ini dikhawatirkan terus berlanjut apabila pemerintah tidak segera menahan yield SBN.

“BI sudah menurunkan suku bunga acuannya ke level terendah, tapi jangan sampai permintaan kreditnya tertahan karena portofolionya dialihkan buat beli SBN,” papar Agus.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Agustus 2021 mengalami inflasi 0,03% month to month (mtm). Rendahnya inflasi ini dikeluhkan Agus karena menggambarkan aktivitas ekonomi yang masih tumbuh terbatas.

Pemerintah menargetkan tingkat inflasi bisa kembali bangkit di angka 3% pada 2021. Malahan, tingkat inflasi diproyeksikan bisa menembus 5%-5,5% pada 2022.

“Tingkat inflasi ini kan menggambarkan bagaimana aktivitas ekonomi bergerak di masyarakat. Kalau inflasinya rendah, ini menandakan pendapatan masyarakat belum pulih,” jelas Agus.

Agus bilang penyaluran kredit dapat menjadi salah satu upaya untuk mendorong tingkat inflasi di dalam negeri. Namun, sayangnya penyaluran kredit tercatat masih tumbuh terbatas hingga Juli 2021.

Lesunya penyaluran kredit tampak dari pertumbuhan kredit yang hanya menyentuh 0,5% year on year (yoy)  pada Juli 2021. Menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyaluran kredit perbankan periode Januari-Juli 2021 telah mencapai Rp1.439 triliun. Di sisi lain, pelunasan dan pembayaran kredit baru menyentuh Rp1.332 triliun.