Bank Indonesia
Perbankan

Imbal Hasil SRBI Banjir Minat, Bank-bank Himbara Tertekan Pengetatan Likuiditas

  • Kondisi likuiditas yang ketat berdampak pada tingkat suku bunga kredit yang belum menyesuaikan dengan penurunan suku bunga acuan. Meskipun Bank Indonesia sudah mulai memangkas suku bunga, bank BUMN kesulitan menurunkan suku bunga kredit mereka karena biaya dana yang tetap tinggi.

Perbankan

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Bank-bank BUMN masih menghadapi tantangan besar dalam menjaga likuiditas, meskipun Bank Indonesia (BI) telah mulai menurunkan suku bunga acuan. 

Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), Darmawan Junaidi, mengungkapkan bahwa salah satu penyebab utama ketatnya likuiditas ini adalah tingginya imbal hasil atau yield pada Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI). 

Menurut Darmawan, imbal hasil SRBI yang tinggi menyebabkan investor lebih memilih instrumen tersebut daripada menyimpan dana mereka di deposito bank BUMN atau produk perbankan lainnya.

"Yield SRBI terus berada pada level yang lebih tinggi, sehingga investor cenderung memilih instrumen ini dibandingkan produk simpanan perbankan konvensional," kata Darmawan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR di Jakarta, Rabu, 13 November 2024.

Menurutnya, instrumen SRBI menawarkan keuntungan yang lebih kompetitif di pasar, sehingga menarik lebih banyak dana masyarakat yang sebelumnya ditempatkan di sektor perbankan.

Dampak Langsung Ketatnya Likuiditas pada Suku Bunga Kredit

Kondisi likuiditas yang ketat berdampak pada tingkat suku bunga kredit yang belum menyesuaikan dengan penurunan suku bunga acuan. Meskipun Bank Indonesia sudah mulai memangkas suku bunga, bank BUMN kesulitan menurunkan suku bunga kredit mereka karena biaya dana yang tetap tinggi.

Darmawan menjelaskan bahwa tren penurunan suku bunga belum diikuti oleh pasar. Hal ini terjadi karena para investor mencari imbal hasil yang lebih tinggi, yang saat ini lebih mudah diperoleh melalui SRBI ketimbang melalui instrumen perbankan.

"Suku bunga memang sedang dalam tren penurunan, tetapi biaya pendanaan atau cost of fund justru meningkat di bank-bank, termasuk di bank BUMN," ujar Darmawan. 

Dengan biaya pendanaan yang tinggi, bank-bank BUMN kesulitan bersaing dalam menyalurkan kredit yang lebih murah, meskipun suku bunga acuan telah menurun.

Tantangan Eksternal dan Potensi Berlanjutnya Ketatnya Likuiditas di 2025

Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI/BBNI), Royke Tumilaar, juga mengkhawatirkan kondisi likuiditas yang ketat ini akan berlanjut hingga 2025. 

Ia mengungkapkan bahwa situasi ekonomi global turut memengaruhi likuiditas perbankan Indonesia, khususnya bank-bank BUMN. 

Salah satu faktor eksternal yang diperkirakan akan memengaruhi pasar adalah kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang kemungkinan kembali menjadi proteksionis setelah terpilihnya Donald Trump sebagai presiden. 

Baca Juga: Bank Mandiri Ungkap Tantangan Bisnis, dari Likuiditas hingga Daya Beli

Hal ini dapat meningkatkan inflasi di AS dan mendorong bank sentral AS, The Federal Reserve, untuk kembali mengetatkan kebijakan moneternya.

Menurut Royke, langkah The Fed ini akan membuat suku bunga dolar AS sulit untuk turun secara tajam, yang pada akhirnya menambah beban likuiditas pada bank BUMN di dalam negeri. 

“Tendensi untuk melihat suku bunga dolar AS turun lebih dalam akan sulit terjadi, sehingga tekanan likuiditas pada perbankan di dalam negeri akan menjadi tantangan yang signifikan di tahun 2025,” ujarnya.

Persaingan Menghimpun Dana Meningkat, Sinkronisasi Kebijakan Diharapkan

Selain tantangan dari luar negeri, persaingan dalam menghimpun dana di pasar domestik juga semakin ketat akibat tingginya imbal hasil SRBI. 

Royke menekankan bahwa tingginya imbal hasil SRBI membuat masyarakat lebih tertarik menempatkan dananya pada instrumen tersebut dibandingkan produk perbankan konvensional. Hal ini menambah tantangan bagi bank-bank BUMN dalam menghimpun dana murah untuk mendukung likuiditas mereka.

Ia berharap adanya sinkronisasi antara kebijakan moneter Bank Indonesia dengan kebijakan fiskal pemerintah, sehingga koordinasi antara kedua pihak dapat membantu memperbaiki situasi yang ada. 

"Diharapkan ada keselarasan kebijakan moneter dan fiskal, agar kebijakan pemerintah bisa berjalan dengan baik dan memberikan dampak positif terhadap likuiditas perbankan," ujar Royke.