logo
Presiden AS Joe Biden
Dunia

Imbas Kondisi Timur Tengah, Kemampuan AS Kelola Krisis Serentak Disorot

  • Meningkatnya ketegangan di Timur Tengah dan perang Rusia yang berlarut-larut di Ukraina menimbulkan pertanyaan soal kemampuan Amerika Serikat (AS) menanggapi krisis ketiga secara bersamaan jika muncul konflik di Semenanjung Korea, Selat Taiwan, atau di tempat lain.

Dunia

Distika Safara Setianda

JAKARTA - Meningkatnya ketegangan di Timur Tengah dan perang Rusia yang berlarut-larut di Ukraina menimbulkan pertanyaan soal kemampuan Amerika Serikat (AS) menanggapi krisis ketiga secara bersamaan jika muncul konflik di Semenanjung Korea, Selat Taiwan, atau di tempat lain.

Setelah perang antara Israel dan Hamas meletus menyusul serangan mendadak kelompok militan itu bulan lalu, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin dan pejabat lainnya menyoroti kemampuan AS untuk menangani krisis. Namun keraguan masih tetap ada.

Para ahli mengatakan, Washington dapat meningkatkan upaya untuk memanfaatkan jaringan aliansi dan kemitraan regionalnya yang berlapis-lapis untuk mengatasi perang yang sedang berlangsung dan tantangan global lainnya sambil mencoba mencegah perang yang ada meluas dan konflik baru muncul.

“Amerika Serikat memiliki kemampuan untuk mengelola banyak krisis, tetapi tidak melawan dan memenangkan banyak perang,” Patrick M. Cronin, ketua keamanan Asia-Pasifik di Institut Hudson, mengatakan kepada Kantor Berita Yonhap melalui email.

“Pemerintahan Biden harus menggunakan semua alat kebijakan, memanggil semua sekutu dan mitra, dan bahkan dalam hal ini harus membuat keputusan sulit tentang tingkat dukungan dan peran AS jika kekerasan meluas di Eropa atau Timur Tengah, atau timbul di Asia,” tambahnya, dilansir dari The Korea Times, Jumat, 3 November 2023.

Kekhawatiran terus berlanjut mengenai apakah AS dapat merespons dengan cepat dan memadai terhadap krisis luar negeri dan konflik global. Hal itu di tengah sentimen domestik yang masih ada terhadap keterlibatan Amerika dalam urusan luar negeri dan polarisasi yang intens di Capitol Hill.

Tanpa menghiraukan kekhawatiran tersebut, Austin menegaskan AS dapat berjalan dan mengunyah permen sekaligus. “Jangan salah. AS akan tetap mampu memproyeksikan kekuatan dan mengarahkan sumber daya untuk mengatasi krisis di berbagai lokasi,” kata Austin dalam jumpa pers hanya beberapa hari setelah serangan Hamas 7 Oktober 2023.

Namun AS tetap disorot apakah dapat terus fokus mendukung Ukraina dan Israel di tengah penundaan pengesahan kongres atas permintaan pendanaan pemerintahan Biden untuk mereka, serta kekhawatiran atas potensi menipisnya persediaan senjata AS sendiri.

“Baik Ukraina maupun Israel bukan konflik regional utama bagi Amerika Serikat. Sejauh ini, pasukan AS tidak berkomitmen untuk bertempur di kedua teater tersebut.” Bruce Bennett, seorang analis pertahanan di RAND Corp., mencirikan konflik tersebut sebagai kemungkinan regional yang lebih kecil.

“Bahkan, saat itu AS menghabiskan persediaan peralatan militer dan amunisinya. Misalnya, Ukraina dilaporkan menembakkan 6.000 hingga 8.000 peluru artileri dan roket per hari, dan AS masih belum memproduksi sebanyak 1.000 peluru dan roket per hari,” tambahnya.