Imbas Konflik Timur Tengah, Pemerintah akan Evaluasi Subsidi Energi
- Pemerintah mengevaluasi ulang alokasi subsidi energi, dengan memperhitungkan kenaikan harga minyak mentah serta nilai tukar Rupiah.
Makroekonomi
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumpulkan para menteri ekonomi dalam rapat terbatas (ratas) untuk membahas dampak eskalasi konflik antara Iran dan Israel, yang berkaitan dengan subsidi energi, khususnya akibat kenaikan harga minyak mentah dunia.
Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengungkapkan, pemerintah mengevaluasi ulang alokasi subsidi energi, dengan memperhitungkan kenaikan harga minyak mentah serta nilai tukar Rupiah.
“Evaluasi subsidi energi akan dilakukan setelah bulan Juni,” ungkap Airlangga, di Istana Kepresidenan Jakarta, pada Selasa, 16 April 2024.
- Cara Unik CEO Microsoft Puji Karyawannya di Hadapan Publik
- Penelitian Menunjukkan, Olahraga 1 Jam Sehari Bisa Membalikkan Penuaan
- Serangan Bersejarah Iran ke Israel dalam Pertimbangan Politik, Militer dan Ekonomi
Sebelumnya, Iran mulai melakukan serangan ke Israel. Pada Minggu, 14 April 2024, Iran meluncurkan UAV (pesawat tanpa awak/drone) dari wilayahnya menuju wilayah negara Israel. Konflik itu disebut akan memberikan dampak bagi ekonomi Indonesia.
“Pada prinsipnya, deeskalasi ataupun menahan diri adalah hal yang sangat penting utamanya buat negara negara yang terlibat di sana. Dari sisi Perekonomian kita melihat tentu ada lonjakan harga minyak imbas serangan Israel ke iran di kedutaan Damaskus dan juga terhadap retaliasi yang dilakukan Iran,” kata Airlangga.
Iran sendiri merupakan salah satu produsen minyak mentah terbesar di dunia. Diperkirakan, meningkatnya ketegangan antara Iran dan Israel ini akan menyebabkan harga minyak mentah dunia kembali meningkat dan mencapai level USD 100 per barel.
Memberatkan Anggaran
Sementara, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyatakan, Presiden Jokowi memberikan petunjuk untuk mengendalikan lonjakan subsidi energi yang dapat memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Kita harus antisipasi ini, melihat skenario yang mungkin terjadi, mengambil alternatif untuk bisa meredam,” terangnya.
Arifin menjelaskan, setiap kenaikan USD 1 dalam harga minyak mentah akan mengakibatkan lonjakan sekitar Rp3,5 triliun hingga Rp4 triliun dalam beban subsidi dan kompensasi energi. Ini belum mempertimbangkan kenaikan nilai tukar Rupiah.
- 10 Idol K-Pop Paling Tajir di Tahun 2024
- 10 Mata Uang Terendah di Dunia, Ada Rupiah
- Solo Safari Buka Saat Lebaran: Berikut Harga Tiket, Daftar Aktivitas dan Jadwal Pertunjukan
Harga minyak mentah dunia mengalami penguatan pasca serangan Israel ke Iran dan balasan dari Iran ke Israel. Pada perdagangan Senin, 15 April 2024, harga minyak mentah Brent berjangka ditutup pada USD 90,10 per barel, sedangkan harga West Texas Intermediate (WTI) mencapai USD 85,41 per barel.
“Belum lagi kalau Rupiah tiap naik 1 dolar 100 rupiah juga cukup besar. Makanya kita harus hemat energi, efisiensi energi ini harus terus di canangkan dikerjain dan diprogramkan,” tuturnya.
Namun, dia mengakui strategi untuk menahan pembengkakan subsidi energi ini sulit karena melibatkan faktor-faktor seperti harga minyak mentah dan nilai tukar Rupiah yang terus melemah di atas Rp16.000 per dolar AS.
“Ini susah, karena itu kan balik ke faktor yang sulit kita kendalikan ya, harga minyak sama kurs, dua-duanya,” ujar dia.
- Delta Dunia (DOID) Kantongi Perpanjangan Kontrak Tambang Batu Bara di Australia
- Saham INCO hingga MDKA Top Gainers LQ45 Kala IHSG Sesi I Longsor
- Bagaimana Ekonomi Indonesia Jika Israel Balas Serangan Iran?
Oleh karena itu, Arifin menyatakan, strategi yang diperlukan harus bersifat jangka panjang dengan mempercepat implementasi program-program yang telah ada.
“Jadi, kita harus lakukan satu efisiensi apa yang bisa kita lakukan, kemudian alternatif energi apa energi yang bisa kita manfaatkan di dalam negeri untuk bisa menggantikan itu. Dampak (subsidi bengkak) itu bisa kita redam,” pungkasnya.