IMF Naikkan Proyeksi Ekonomi Asia Pasifik 2024 Jadi 4,5 Persen
- Aktivitas ekonomi di kawasan Asia dan Pasifik melebihi ekspektasi pada paruh kedua tahun 2023, meskipun menghadapi berbagai rintangan seperti kebijakan moneter yang ketat dan permintaan dari luar yang rendah.
Makroekonomi
JAKARTA - Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) meningkatkan proyeksi pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Pasifik menjadi 4,5 persen pada tahun 2024.
Dalam laporan Regional Economic Outlook Asia and Pacific yang dikeluarkan oleh IMF, proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut naik 0,3 persen dibandingkan proyeksi sebelumnya pada Oktober 2023.
Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF Krishna Srinivasan menjelaskan, peningkatan proyeksi ini didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang kuat solid di 2023, serta dukungan kebijakan pemerintah.
- 76 Mobil Pintar China Lulus Uji Keamanan Data
- Perpanjangan Izin Tambang Vale Dipastikan Telah Terbit
- Bakso JakSen Hadir di Sentani, Tawarkan Varian Premium dan Saos Cabai yang Menggugah Selera
Aktivitas ekonomi di kawasan Asia dan Pasifik melebihi ekspektasi pada paruh kedua tahun 2023, meskipun menghadapi berbagai rintangan seperti kebijakan moneter yang ketat dan permintaan dari luar yang rendah.
“Kami berharap kawasan Asia Pasifik tetap menjadi wilayah yang paling dinamis di dunia, dengan menyumbang sekitar 60 persen pertumbuhan ekonomi global,” ujar Krishna, dikutip dari laporan IMF, pada Selasa, 30 April 2024.
IMF mencatat, pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia mencapai 5,0% pada tahun 2023, naik 0,4% dari perkiraan sebelumnya pada Oktober 2023. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh permintaan domestik yang kuat di negara berkembang.
Inflasi Terus Turun
Sementara itu, inflasi terus mengalami penurunan, khususnya di negara-negara berkembang di Asia, yang dipengaruhi oleh pengetatan moneter pada tahun 2022 dan awal 2023. Hal ini juga didukung oleh turunnya harga komoditas, inflasi rendah pada harga barang manufaktur global, dan meningkatnya kapasitas pasokan yang terjadi pasca pandemi COVID-19.
Krishna menyatakan, kecepatan dan tingkat disinflasi berbeda-beda di antara negara-negara Asia. Beberapa di antaranya masih menghadapi tekanan harga yang berkelanjutan dan ada pula yang menghadapi risiko deflasi.
Namun, pada awal tahun 2024, beberapa negara telah menunjukkan kinerja ekonomi yang memuaskan. Berdasarkan kondisi tersebut, IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini akan berlanjut mencapai 4,5%.
Krishna mengungkapkan, proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut didasarkan pada beberapa faktor. Pertama, negara-negara di kawasan Asia Pasifik menerapkan kebijakan makroekonomi yang tepat.
Kedua, lonjakan inflasi mulai menurun, terutama di negara-negara yang sebelumnya memiliki tingkat inflasi di atas target mereka, sedangkan di negara-negara dengan tingkat inflasi yang rendah, inflasi akan meningkat.
Di sisi lain, proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2025 sebesar 4,3%, sesuai dengan proyeksi sebelumnya. Krishna mengatakan, faktor utama yang mempengaruhi perlambatan ini karena ekonomi China berkontraksi pada tahun depan.
- Saham BRMS, BUMI dan BBCA Layak Diburu Kala IHSG Diramal Menguat
- Investree Digugat Lender Lagi, Total Sudah Ada 6 Gugatan
- AMMN dan ISAT Masuk LQ45, Cek Kinerja Sahamnya
India dengan investasi publik yang menjadi pendorong penting, menjadikan negara tersebut menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi paling cepat di dunia. Lalu, saat kondisi eksternal yang masih belum kuat, IMF menilai konsumsi swasta yang kuat tetap menjadi pendorong utama di negara-negara berkembang lainnya di Asia.
“Sektor properti turun lebih dalam, sehingga diperkirakan menjadi risiko penurunan (ekonomi), meski pemerintah telah mengeluarkan banyak kebijakan. Risiko ini akan memberi dampak buruk bagi-bagi negara tetangga China,” papar dia.
Sementara itu, Jepang yang berhasil keluar dari suku bunga negatif, akan mengurangi kekhawatiran pasar tentang dampak negatif dari penetapan harga secara tiba-tiba.
Krishna meminta agar bank sentral di berbagai negara menyesuaikan tingkat inflasi agar kembali ke target yang ditetapkan, baik di negara-negara yang mengalami inflasi persisten karena tekanan harga maupun di negara-negara yang berisiko deflasi.
Ia juga menyarankan agar pemerintah fokus pada upaya stabilitas harga domestik dan menghindari keputusan yang terlalu bergantung pada kebijakan Federal Reserve AS (The Fed). Selanjutnya, IMF memperkirakan tingkat utang yang lebih tinggi dan biaya bunga yang meningkat akan memberi beban tambahan pada neraca fiskal.
Oleh karena itu, upaya untuk menjaga konsolidasi fiskal perlu dilakukan, terutama, terutama untuk mengatasi tantangan struktural jangka menengah seperti penuaan populasi dan perubahan iklim.
“Semakin ketat kebijakan moneter dalam dua tahun terakhir juga masih memengaruhi neraca korporasi dan rumah tangga. Pemerintah harus terus memantau dengan cermat penumpukan risiko tersebut,” kata dia.
Sebagai informasi, Bank Indonesia baru-baru ini menaikkan suku bunga acuan secara tak terduga sebagai respons terhadap anjloknya nilai rupiah yang dipicu oleh penguatan dolar AS.
IMF mencatat negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara ini merupakan salah satu dari banyak negara di kawasan yang mengalami depresiasi mata uang akibat prospek penurunan suku bunga The Fed yang semakin berkurang.
- Sektor Drone China Diperkirakan Capai Rp4.492 Triliun Tahun 2030
- Microsoft akan Investasi US$1,7 Miliar untuk Pengembangan AI dan Cloud di Indonesia
- Kinerja Hingga Kuartal I-2024 Lesu, Laba Samudera Indonesia Turun Jadi Rp165 Miliar
“Meskipun mengikuti The Fed dapat membatasi volatilitas nilai tukar, namun ada risiko bahwa bank-bank sentral akan tertinggal di belakang (atau mendahului) kurva dan mengacaukan ekspektasi inflasi,” tulis Srinivasan.
Di sisi lain, IMF tidak mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diramal tetap pada 5%, angka yang sama dengan estimasi sebelumnya pada Oktober 2023.