Start Up dengan penambahan jumlah karyawan terbanyak periode Mei 2021-2022.
Industri

Implementasi ESG Berpengaruh pada Kelanjutan Bisnis Start Up

  • Mulai dari badai pemutusan hubungan kerja, valuasi menurun, kering pendanaan, hingga perlambatan pertumbuhan
Industri
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Perusahaan rintisan (start up) tengah menjadi sorotan dunia. Mulai dari badai pemutusan hubungan kerja, valuasi menurun, kering pendanaan, hingga perlambatan pertumbuhan.

Di sisi lain, dalam lima tahun terakhir seluruh perusahaan dunia tengah fokus meningkatkan implementasi prinsip environment, social, dan governance (ESG). Pertanyaannya, apakah implementasi ESG berkaitan dengan keberlangsungan bisnis start up?

Riset Hardvard Business memaparkan, start up memiliki kesempatan besar untuk menerapkan prinsip ESG sedari awal. Alih-alih mengikuti jejak perusahaan besar yang mengeluarkan ongkos lebih besar karena terlambat mengimplementasikan ESG.

Ketua Asosiasi Modal Ventura untuk Start Up Indonesia (AMVESINDO) Eddi Danusaputro mengakui, implementasi ESG memiliki pengaruh terhadap kinerja perusahaan dalam jangka panjang.

“Iya ada (pengaruhnya). Mayoritas perspektif start up tidak terlalu jangka panjang. Paling hanya 1-2 tahun karena volatilitas bisnis atau pendanaan,” kata Eddi pada TrenAsia.

Ditambah lagi saat ini, start up  yang bisa fokus ke ESG biasanya berada di sektor terkait seperti agritech, energytech dan sebagainya. Bukan hanya sektornya, masalah pendanaan yang terbatas dirasa Eddi membuat start up tahap awal kesulitan menerapkan ESG.

“Biasanya di level growth stage dan late stage. Kalau early stage masih fokus ke pertumbuhan dan mempertahankan bisnis di tahap awal,” jelas CEO BNI Ventures.

Pentingnya ESG

Pada aspek lingkungan misalnya, start up yang memiliki rencana nol emisi hanya 7% di seluruh dunia. Padahal, regulasi pemerintah dan investor global sudah mulai mensyaratkan peta jalan dekarbonisasi untuk semua perusahaan.

Sayangnya di Indonesia, ESG belum mendapatkan perhatian penuh dari para pemodal. “Ya menjadi pertimbangan (implementasi ESG), namun belum jadi kriteria utama.”

Dari aspek sosial, perusahaan yang menggaji karyawan dengan layak terbukti memiliki risiko 30% lebih rendah mengalami pengunduran diri massal. Selain soal gaji, start up yang fokus ke ESG, khususnya pada aspek governance juga akan membangun keamanan data yang solid seiring dengan pertumbuhan bisnisnya.

Terbukti, perusahaan yang mengimplementasikan ESG akan memiliki risiko yang lebih rendah, biaya modal, dan intervensi peraturan, serta pertumbuhan yang lebih tinggi, daya tarik bakat, dan retensi.

Bisnis Start Up Limbung

Berdasarkan data dari CB Insight, pada kuartal I-2022, nilai pendanaan start up menyusut 20,3% dibanding kuartal sebelumnya ke angka US$141,6 miliar (Rp2,12 kuadriliun).

Angka tersebut menyusut lagi pada kuartal II-2022 ke US$108,5 miliar (Rp1,62 kuadriliun) atau turun 23% dibanding kuartal sebelumnya.

Investor sekaligus pakar Industri teknologi asal AS, Yura Lazebinkov mengatakan aliran uang yang pernah diguyurkan pada sejumlah start up menyebabkan perusahaan rintisan itu stagnan di zona nyaman.

Mereka tampak menunda datangnya model bisnis menyeluruh hingga nanti. Semua upaya yang dilakukan oleh perusahaan perintis semata-mata hanya untuk  menarik uang.

"Mereka berasumsi bahwa mereka dapat memperbaiki kesalahan selama penskalaan. Tapi ini adalah ilusi, dan setiap kesalahan menjadi lebih penting dengan setiap dolar yang diinvestasikan," tulis Lazebinkov seperti dikutip TrenAsia.com.

Lazebinkov menambahkan, terhentinya aliran dana pada start up memang seharusnya dilakukan. Sebab pada dasarnya, perusahaan harus berada di ujung jurang dahulu sebelum memikirkan ulang model dan strategi bisnis yang harus mereka lakukan.

"Overstaffing, gaji tinggi, dan pengeluaran tanpa pertimbangan untuk pemasaran alih-alih hal-hal seperti kecocokan pasar produk adalah kesalahan umum. start up dan dana perlu diguncang dan itulah yang terjadi," tambah Lazebinkov.

Biang kerok

Pasar memang tampak melemah belakangan terakhir. Begitu pula dengan pendanaan terhadap start up.

Melihat fenomena tersebut, Lazebinkov mengatakan ada sejumlah hal yang menjadi biang kerok melambatnya pertumbuhan perusahaan perintis.

Alasan pertama, kata Lazebinkov, adalah banyaknya uang yang digelontorkan pada 2021 lalu. Seperti diketahui, pendanaan total untuk start up di seluruh dunia pada 2021 lalu mencapai US$621 miliar atau sekitar Rp9,4 kuadriliun. Di tahun berikutnya, tampaknya akan sulit untuk melihat pendanaan dalam jumlah besar.

Alasan kedua adalah inersia keuangan. Artinya pada 2021 lalu, start up masih dalam tahap pelarian. Karenanya, pasar berakselerasi sedemikian rupa sehingga terus mengalirkan uang bahkan ketika sinyal badai yang akan datang terdengar keras dan jelas.

Ketiga, di saat yang bersamaan ketidakpastian akan menjadi filter penting bagi pasar dan dapat memberikan lahan subur bagi tim dan produk yang kuat yang berfokus pada sesuatu yang lebih dari sekadar meningkatkan performa. Sejumlah perusahaan perintis seperti  Stripe, Uber, Airbnb, Square, dan banyak lainnya kini  memulai perjalanan mereka di masa yang lebih sulit.