Implementasi ESG di Indonesia (Serial 1): Menegakkan Prinsip Tata Kelola dalam ESG
- Environment, social, and governance atau yang lebih dikenal dengan ESG merupakan suatu praktek yang berkesinambungan.
Nasional
JAKARTA - Environment, social, and governance atau yang lebih dikenal dengan ESG merupakan suatu praktek yang berkesinambungan.
Bila dalam hal lingkungan dan sosial, perusahaan lebih concern kepada aktivitas produksi dan juga kinerja perusahaan. Lain lagi dengan prinsip tata kelola (governance).
Dalam prinsip tata kelola yang baik, hal itu terlihat dalam struktur direksi dan dewan komisaris, sistem remunerasi direksi dan manajemen senior, sistem audit, pengendalian internal, dan perlindungan hak pemegang saham baik mayoritas maupun minoritas antara lain, penggunaan metode akuntansi yang sesuai dengan standar yang diharuskan. Lalu memastikan bahwa semua pemegang saham diberikan kesempatan berpartisipasi dalam pengambilan suara untuk keputusan mengenai isu yang penting bagi organisasi
Kemudian, memastikan tidak adanya konflik kepentingan dalam pemilihan anggota direksi dan dewan komisaris. Selanjutnya memastikan tidak adanya kontribusi politik untuk memperoleh perlakuan istimewa dari penerima kontribusi. Serta, memastikan tidak terlibat dalam kegiatan ilegal
Namun, pada praktiknya dari beberapa poin di atas, pelanggaran kerap terjadi, yang melibatkan Board of Directors (BOD) hingga Board of Comissioners (BOC).
- Tiga Industri yang Paling Rentan Terkena Serangan Siber Ransomware
- Kemendag Klaim Kebijakan DMO Sawit Sudah Tepat
- Menteri PUPR Tegaskan Belum Ada Kenaikan Tarif Tol hingga Akhir Tahun
- Ilmuwan Temukan Jantung Purba Galaksi Bima Sakti
Sebenarnya dalam perusahaan ada skema atau sistem manajemen yang mengarahkan untuk menghindari kegiatan ilegal seperti korupsi maupun gratifikasi namun pada prakteknya di lapangan, ternyata hal tersebut masih banyak terjadi.
Praktik korupsi juga tak lepas dari beberapa perusahaan yang menerapkan ESG di Tanah Air. Korupsi sendiri berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus.
Corruptio memiliki arti beragam yakni tindakan merusak atau menghancurkan. Corruptio juga diartikan kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, dan tidak bermoral.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Menurut World Bank korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi. Definisi tersebut menjadi standar internasional dalam merumuskan korupsi.
Dari data yang telah TrenAsia rangkum ada beberapa kasus korupsi yang menyangkut kepada perusahaan-perusahaan yang menerapkan ESG.
Kasus korupsi besar yang menggemparkan Indonesia antara lain:
- Kasus Asabri yang merugikan negara hingga Rp23,7 triliun
- Kasus Jiwasraya yang merugikan negara sampai Rp17 triliun
- Kasus Garuda Indonesia yang menelan kerugian sampai Rp8 triliun
Selain adanya kasus korupsi maupun gratifikasi yang dilakukan oleh Board of Directors (BOD) atau Board of Comissioners (BOC) dalam sebuah perusahaan, sorotan terhadap Tata Kelola tak berhenti hanya sampai disitu saja.
Di dalam pasar modal pun kerap kali terjadi kecurangan yang melibatkan orang dalam dan memunculkan istilah insider trading.
Insider trading merupakan suatu praktik ilegal dalam dunia investasi, dimana seorang investor mendapat informasi yang pasti perihal peluang keuntungan dalam transaksi jual beli saham. Kepastian informasi tersebut tentu bersumber dari pihak di perusahaan terkait.
Lebih lanjut, insider trading adalah perdagangan efek (jual atau beli) yang dilakukan seseorang dan atau sekelompok orang dengan dasar informasi atau fakta material yang telah diketahuinya terlebih dahulu sebelum informasi tersebut diinformasikan kepada publik, dengan tujuan mendapatkan keuntungan jalan pintas (short swing profit) di pasar modal.
Praktek insider trading jelas dilarang dalam undang-undang No.8 tahun 1995 tentang pasar modal (UUPM) dimana dijelaskan bahwa orang dalam dari emiten atau perusahaan publik yang mempunyai informasi orang dalam dilarang melakukan pembelian atau penjualan atas efek.
Beberapa perseroan berkomitmen untuk menghindari adanya praktik insider trading dengan menyusun kebijakan pencegahan insider trading serta pada code of conduct yang didalamnya mengatur tentang penggunaan informasi melalui cara dan etika yang sah sesuai dengan prinsip yang berlaku.
Ada beberapa kasus insider trading yang belakangan ini mencuri perhatian publik. Dirangkum dari berbagai sumber, TrenAsia coba memberikan daftarnya, di antaranya:
Kasus insider trading yang ada di Indonesia
- Kasus Jouska Finansial Indonesia pada Januari 2021
- Kasus dugaan insider trading Bank Muamalat pada tahun 2017 sampai 2019,
- serta kasus insider trading Saham Bank Danamon di tahun 2012
Selain itu di dalam praktik untuk menyeleraskan tata kelola yang baik di dalam perusahaan, sebuah instansi juga menyediakan saluran pelaporan yang dinamakan whistleblower.
Istilah whistleblower diartikan sebagai orang yang mengungkap fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik atau korupsi.
Lebih lanjut, pengertian whistleblower menurut PP No.71 Tahun 2000 adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor.
Kemudian merujuk pada UU No.13 Tahun 2006 adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang dilihat, didengar dan dialami oleh yang bersangkutan.
Menurut Floriano C. Roa menyebut, ada dua jenis pelaporan yang dapat dilakukan whistleblower yaitu:
a. Pelaporan dalam lingkup internal: pelaporan yang disampaikan langsung kepada atasan yang ada di dalam ruang lingkup lingkungan yang sama dengannya (misalnya, perusahaan atau instansi pemerintahan); dan
b. Pelaporan dalam lingkup eksternal: pelaporan yang disampaikan kepada individu, badan pengawas, atau pihak eksternal lain terkait kegiatan ilegal atau immoral dalam perusahaan atau instansinya (misalnya kepada kepolisian).
Kantor hukum dan HAM, Lokataru, menemukan ada beberapa kasus yang menunjukkan bahwa perlindungan bagi saksi kunci dan whistleblower yang telah mendukung negara secara sukarela untuk mengungkap kejahatan korupsi masih sangat lemah.
Lokataru juga berpendapat, buruknya perlindungan hukum bagi para pelapor, saksi kunci dan whistleblower juga dapat menjadi catatan negatif bagi kesungguhan pemerintah Indonesia untuk memenuhi komitmennya sebagai negara pihak dalam The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Lokataru mengidentifikasi adanya beberapa hal yang menjadi faktor penyebab. Salah satu poin penting yang ditengarai menyebabkan hal ini diantaranya adalah karena kegagalan dan kurangnya peran dari KPK, LPSK dan lembaga negara lainnya termasuk institusi peradilan dalam memastikan perlindungan mereka.
Selain itu, faktor lainnya adalah kurangnya koordinasi di antara lembaga-lembaga penegak hukum dan lembaga negara lainnya yang mengisyaratkan adanya persoalan peraturan dan kebijakan yang tidak harmonis dalam memastikan perlindungan whistle blower.
Hal tersebut juga sejalan dengan menurunnya independensi KPK dan surutnya dukungan pemerintah akhir-akhir ini terhadap agenda-agenda pemberantasan tindak pidana korupsi.
Di antaranya beberapa kasus serangan balik pada saksi kunci dan whistleblower itu adalah kasus Roni Wijaya dan Nurhayati.
Kasus Roni Wijaya
Kasus yang menimpa Roni Wijaya, seorang saksi kunci yang berjasa dalam ikut membongkar kasus skandal korupsi proyek pusat pendidikan, pelatihan, dan sarana olahraga nasional (P3SON) Hambalang dan saat press release ini dikeluarkan, ia menjalani proses penahanan di Lapas Cipinang, menjadi terdakwa dan menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sebelumnya, Roni Wijaya eks direktur PT Dutasari Citralaras ditetapkan sebagai tersangka oleh Direktorat Penegakan Hukum, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan Republik Indonesia pada tanggal 24 Agustus 2018.
Sebagai informasi, Roni Wijaya adalah saksi yang dilindungi KPK (whistleblower) dalam perkara korupsi proyek Hambalang. Lalu, Roni juga membantu KPK dalam membongkar perkara korupsi proyek Hambalang, dengan salah satu terdakwa Machfud Suroso (Direktur Utama PT Dutasari Citralaras).
Adapun, Roni dituduh sebagai pelaku pidana pajak, lalu disangkakan menggunakan faktur pajak fiktif dan pencucian uang. Sementara itu, adanya kejanggalan dalam kasus Roni Wijaya antara lain:
a. Diperas oleh oknum jaksa
b. Penyidikan tetap dilakukan meskipun Roni berstatus sebagai whistleblower
c. Tidak pernah ada koordinasi antara penyidik Ditjen Pajak dengan KPK
d. Roni diduga menjadi target serangan balik koruptor atas kesaksiannya
e. Pernah dilakukan sandera pajak tahun 2017, namun tahun pajak 2010-2011 (tahun pidana pajak) tidak dimasukkan
f. Diminta membayar seluruh hutang pajak perusahaan saat sandera pajak padahal kedudukannya hanya sebagai direktur dengan poris saham 20%, sedangkan Machfud Suroso selaku Direktur Utama dengan porsi saham 40% tidak diminta membayar utang pajak.
Kasus Nurhayati
Kasus yang jadi tersangka karena whistleblower adalah Nurhayati, seorang bendahara desa, yang justru dijadikan tersangka setelah melaporkan sebuah kasus dugaan korupsi yang telah dilakukan oleh atasannya, yaitu mantan kepala desa di daerah Cirebon Jawa Barat.
Singkat cerita, saat mengetahui kasus kecurangan yang disinyalir mengarah pada tindak korupsi, Nurhayati melaporkannya secara tertulis kepada Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Citemu.
Bukannya mendapatkan dukungan atas laporan yang dibuatnya, dia justru ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polres Cirebon.
Meski sudah berstatus bebas dan bersih, namun hal tersebut menjadi pengalaman pahit bagi Nurhayati. Ia harus menghadapi proses hukum dan menyandang status tersangka sejak November 2021 hingga sekitar Februari 2022 lalu. Namun, kasus korupsi tersebut tidak akan terungkap tanpa adanya laporan dari Nurhayati.
Kasus itu juga menjadi salah satu contoh nyata bahwa menjadi whistleblower tidaklah tanpa risiko. Korupsi merupakan bentuk fraud yang dalam praktiknya pasti melibatkan pihak lain, sehingga tentu saja ada beberapa pihak terkait yang mempunyai kepentingan masing-masing.
Oleh karena itu, pengendalian internal pada umumnya tidak cukup. Organisasi perlu menerapkan sistem pelaporan pelanggaran atau sistem whistleblowing dan mensosialisasikan sistem tersebut kepada semua pemangku kepentingan.
Sistem whistleblowing sejauh ini terbukti efektif mendeteksi fraud secara dini. Tak kalah penting, organisasi juga perlu memastikan bahwa sistem whistleblowing yang diterapkan memberikan jaminan rasa aman bagi whistleblower.