Forrest fog mist
Nasional

Implementasi ESG di Indonesia (Serial 2) : Begini Praktik Prinsip Lingkungan Dalam Perusahaan Ekstraktif

  • Penerpaan aspek environment, social, and governance atau ESG masih terus menjadi tren demi mendorong keberlanjutan bisnis. Salah satu yang menjadi fokusnya dalam hal lingkungan.
Nasional
Debrinata Rizky

Debrinata Rizky

Author

JAKARTA - Penerpaan aspek environment, social, and governance atau ESG masih terus menjadi tren demi mendorong keberlanjutan bisnis. Salah satu yang menjadi fokusnya dalam hal lingkungan.

Ketika sebuah perusahaan beroperasi, maka proses bisnis yang dilakukan oleh perusahaan tersebut berpotensi untuk menimbulkan dampak terhadap lingkungan, baik dampak positif maupun dampak negatif.

Contoh dampak negatifnya bisa pencemaran air, pencemaran udara, kerusakan keanekaragaman hayati, atau pengurangan cadangan air tanah. Semua jenis dampak ini akan memberikan resiko yang mempengaruhi bisnis yang dijalankan oleh perusahaan.

Misalnya pencemaran air yang ditimbulkan oleh aktivitas perusahaan, akan memberikan resiko pertanggungjawaban dalam bentuk tuntutan pidana dan tuntutan perdata, apakah tuntutan tersebut dari pemerintah, masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Ketika perusahaan berupaya untuk menerapkan ISO 14001, maka perusahaan tersebut telah memiliki komitmen untuk memperbaiki secara menerus kinerja lingkungannya. ISO 14001 merupakan standar yang memadukan dan menyeimbangkan kepentingan bisnis dengan lingkungan hidup. Sehingga, upaya perbaikan kinerja yang dilakukan oleh perusahaan akan disesuaikan dengan sumber daya perusahaan, apakah itu sumberdaya manusia, teknis, atau finansial.

Namun bila perusahaan tersebut mengembangkan sistem manajemen lingkungan yang memenuhi persyaratan ISO, maka perusahaan tersebut bisa saja memperoleh sertifikat ISO 14001. Perusahaan lain, yang kinerja lingkungannya telah memenuhi baku mutu namun EMS-nya tidak memenuhi persyaratan tidak akan memperoleh sertifikat ISO 14001.

Lalu bagaimana praktik environment pada perusahaan-perusahaan ekstraktif?

Guru Besar IPMI Business School sekaligus pakar SDGs, Roy Sembel mengatakan, saat ini industri rokok merupakan bisnis yang berusaha dihilangkan atau dikurangi oleh masyarakat atau lembaga yang fokus terhadap kesehatan maupun lingkungan.

Sebab rokok masih dianggap sebagai salah satu faktor penyumbang penyakit dan berkontribusi secara signifikan terhadap tingkat polusi udara di kota. Adapun WHO Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization menyatakan rokok terbukti membahayakan bagi kesehatan yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan hingga kanker.

Di Indonesia hingga 2020 tercatat ada sekitar 225.700 orang yang meninggal akibat rokok atau tembakau. WHO mengungkapkan puntung rokok merupakan salah satu penyumbang sampah non organik di seluruh Indonesia. Sejak tahun 1980 WHO mencatat puntung rokok menyumbang 20-40% dari sampah yang ditemukan di tempat sampah perkotaan. Puntung rokok menjadi salah satu sampah yang paling banyak ditemukan di laut dan pinggir pantai.

Roy mengungkapkan kedepannya industri rokok memerlukan strategi bisnis yang dapat sejalan dengan penerapan ESG. Ia mencontohkan, adanya inovasi rokok yang bebas nikotin yang disertai oleh riset dan penelitian khusus.

Tak hanya industri cukai rokok, industri pertambangan juga menjadi sorotan terkait penerapan praktik environment di dalamnya. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong perusahaan pertambangan untuk menjalankan komitmennya dalam menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik atau good mining practice.

Presiden Direktur Schroders Indonesia Michael T. Tjoajadi mengatakan, justru industri tambanglah yang paling besar dalam andil kurangnya penerapan prinsip environment ini.

Michael menuturkan perlu ada keseimbangan dari perusahaan pertambangan jika melakukan produksi yang berdampak buruk ke lingkungan. Berarti harus mencari alternatif penambal kerusakan lingkungan itu agar tidak semakin memburuk kedepannya.

Melansir data bersumber dari Schroders, ESG scoring band yang dikeluarkan telah mengklasifikasi berdasarkan sektornya. Hasilnya sisi lingkungan, sektor metal and mining memperoleh skor 29 dengan indikator sangat beresiko. Sementara oil and gas juga memperoleh score yang sama diangka 29 berarti sama sama beresiko.

Bagaimana Implementasinya di Indonesia? Sudah Cukupkah?

Menurut Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid, implementasi ESG atau ekonomi hijau di Indonesia memang masih kurang atau jauh dari harapan.

Namun berdasarkan peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan surat edaran OJK menyatakan bahwa perusahaan publik wajib melaporkan laporan berkelanjutan (sustainability report) sebagai bagian laporan tahunan perusahaannya (annual report).

Arsjad memaparkan, saat ini tingkat implementasi dari ESG oleh korporasi masih rendah, dari indeks ESG Indonesia pada 2021 hanya mampu menepati peringkat 36 dari 47 pasar modal di dunia. Padahal Indonesia memiliki nilai potesial sekitar US$200 hingga US$250 triliun dari potensi kebelanjutan.