Ilustrasi ESG
Industri

Implementasi ESG di Indonesia (Serial 4): CSR Tidak Selalu Mencerminkan Nilai Berkelanjutan

  • Menurut pengamatan Ryan, saat ini kebanyakan emiten dalam laporannya lebih cenderung menekankan aksi CSR untuk mencapai aspek sosial dalam prinsip ESG.

Industri

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Ekonom Institute of Social Economic Digital (ISED) Ryan Kiryanto mengatakan bahwa aksi tanggung jawab sosial korporasi (corporate social responsibility/CSR) tidak selalu mencerminkan pengutamaan nilai lingkungan (environmental), sosial (social), dan tata kelola (governance) atau ESG dalam upaya bisnis yang berkelanjutan.

Ryan mengemukakan, demi menggalakkan penerapan bisnis yang berkelanjutan dengan mengacu pada prinsip berkelanjutan, saat ini emiten-emiten yang tergabung dalam Bursa Efek Indonesia (BEI) diwajibkan untuk merilis laporan keberlanjutan yang isinya menyampaikan capaian-capaian dan strategi penerapan ESG. 

Namun, menurut pengamatan Ryan, saat ini kebanyakan emiten dalam laporannya lebih cenderung menekankan aksi CSR untuk mencapai aspek sosial dalam prinsip ESG. 

“Kegiatan CSR, tanggung jawab sosial perusahaan, itu hanya bersifat filantropis, tetapi ESG itu adalah suatu hal yang lebih dalam,” kata Ryan kepada TrenAsia, Jumat, 14 Oktober 2022.

Menurut Ryan, CSR bahkan sebenarnya tidak terlalu mencerminkan aktivitas yang bersandar pada prinsip ESG. Oleh karena itu, isi dari laporan keberlanjutan yang dirilis setiap tahun itu seharusnya tidak perlu dijejali dengan kegiatan-kegiatan CSR belaka.

Misalnya, walaupun suatu perusahaan memiliki portofolio CSR yang sangat baik tapi aktivitas bisnisnya tidak mengacu pada aspek ramah lingkungan, sosial, dan tata kelola, maka prinsip ESG sebenarnya belum terpenuhi.

Ryan pun menyoroti konsep ESG yang diusung untuk nilai yang “berkelanjutan”. Apabila dalam aktivitas CSR-nya perusahaan tidak mengutamakan azas keberlanjutan itu, prinsip ESG pun belum bisa dianggap terpenuhi.

Dalam menerapkan prinsip ESG, pelaku usaha pun tidak bisa hanya fokus kepada salah satu dari tiga aspek yang diusung (lingkungan, sosial, dan tata kelola).

Contohnya, dalam aktivitas pembiayaan, suatu bank tidak bisa dikatakan sudah menerapkan prinsip ESG apabila mereka hanya fokus kepada pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk memenuhi aspek sosial.

Mereka juga harus turut mengutamakan aktivitas pembiayaan yang berorientasi kepada ekonomi hijau (green economy) dan juga tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG).

Pasalnya, ESG adalah suatu konsep yang mencakupi aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola secara keseluruhan atau totalitas dan bukan sesuatu yang terfragmentasi.

“Penerapan) ini tidak boleh dipisah-pisah. Ini satu kesatuan,” ucap Ryan.

Meskipun penempatan kedudukan CSR dalam laporan keberlanjutan masih dinilai kurang tepat, namun Ryan mengatakan bahwa ESG masih merupakan “barang baru” di Indonesia sehingga wajar saja jika masih ada beberapa hal yang perlu diatur kembali.

Ryan mengatakan, seharusnya tren ESG ini sudah tumbuh sejak empat tahun lalu. Namun, datangnya pandemi COVID-19 sempat menghapuskan ESG dari peta bisnis karena pada saat virus mulai merebak, yang menjadi fokus adalah bagaimana bisnis-bisnis bisa bertahan.