<p>Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) / Dok. Kementerian ESDM</p>
Nasional

Implementasikan Co-Firing, 17 PLTU Ini Hasilkan Energi Hijau 189 MW

  • JAKARTA – Implementasi co-firing atau pencampuran biomassa dengan batu bara telah dilakukan pada 17 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) hingga Juni 2021. Melalui proyek cofiring tersebut, energi hijau dari ekuivalen kapasitas pembangkit yang dihasilkan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN mencapai 189 Mega Watt (MW). Adapun dari total 17 PLTU yang menggunakan biomassa secara komersial, 12 PLTU di […]

Nasional
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Implementasi co-firing atau pencampuran biomassa dengan batu bara telah dilakukan pada 17 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) hingga Juni 2021.

Melalui proyek cofiring tersebut, energi hijau dari ekuivalen kapasitas pembangkit yang dihasilkan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN mencapai 189 Mega Watt (MW).

Adapun dari total 17 PLTU yang menggunakan biomassa secara komersial, 12 PLTU di antaranya tersebar di Jawa dan lima lokasi di luar Jawa. Pembangkit tersebut dikelola oleh dua anak usaha PLN, yaitu PT Indonesia Power dan PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB).

Dalam hal ini, Indonesia Power menghasilkan energi hijau melalui co-firing di PLTU Suralaya 1-4, PLTU Suralaya 5-7, PLTU Sanggau, PLTU Jeranjang, PLTU Labuan, PLTU Lontar, PLTU Pelabuhan Ratu, PLTU Barru dan PLTU Adipala.

Sementara PJB menghasilkan energi hijau melalui co-firing PLTU Paiton Unit 1-2, PLTU Pacitan, PLTU Ketapang, PLTU Anggrek, PLTU Rembang, PLTU Paiton 9, PLTU Tanjung Awar-Awar dan PLTU Indramayu.

Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Sahid Junaidi  mengungkapkan, penggunaan biomassa sebagai substitusi bahan bakar PLTU sejalan dengan upaya Indonesia menuju net zero emission (NZE) di masa depan.

Selain turut meningkatkan kontribusi energi terbarukan, kata dia, co-firing juga berdampak positif kepada pengembangan ekonomi kerakyatan (circullar economy).

“Peluangnya ada pada lapangan kerja sehingga menggerakkan bisnis di sektor biomassa, khususnya yang berbasis sampah dan limbah,” mengutip keterangan tertulis, Rabu, 23 Juni 2021.

Proses co-firing sendiri bisa diambil dari limbah pertanian, limbah industri pengolahan kayu, hingga limbah rumah tangga. Selain itu, bisa pula dari tanaman energi pada lahan kering atau yang dibudidayakan pada kawasan Hutan Tanaman Energi, seperti pohon Kaliandra, Gamal dan Lamtoro.

Meskipun demikian, ada tantangan besar yang dihadapi dalam implementasi co-firing biomassa. Tantangan tersebut antara lain menjaga keberlanjutan pasokan bahan baku biomassa sehingga harga listrik yang dihasilkan tetap terjangkau serta tidak melebihi biaya pokok penyediaan (BPP) yang ditetapkan.