Ilustrasi persediaan beras nasional.
Industri

Impor Beras 1 Juta Ton Saat Panen Tidaklah Bijak

  • Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mendorong Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) untuk memaksimalkan penyerapan beras dalam negeri.

Industri
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mendorong Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) untuk memaksimalkan penyerapan beras dalam negeri.

Peneliti CIPS Felippa Ann Amanta mengatakan, produksi beras dalam negeri dapat digunakan untuk memaksimalkan cadangan beras pemerintah (CBP). Sementara untuk izin impor yang dikeluarkan oleh pemerintah, bisa dirilis sebagai antisipasi jika pasokan beras memang kurang.

“Panen raya jatuh pada Maret-April. Impor kurang bijak apabila dilakukan pada periode tersebut,” ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima TrenAsia.com, Rabu, 18 Maret 2021.

Terlebih, lanjut dia, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada peningkatan produksi pada 2020, yakni mencapai 31,63 juta ton. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebesar sebesar 31,31 juta ton.

Lebih rinci, angka produksi tersebut diperoleh dari luas panen padi 2020 yang mencapai 10,79 juta hektare. Luas ini diketahui juga mengalami kenaikan 1,02% dibandingkan dengan luas panen 2019 sebesar 10,68 juta hektare.

Menurut Felippa, eksekusi impor beras semestinya mempertimbangkan berbagai faktor, seperti ketersediaan pasokan di dalam negeri, hasil panen, dan harga beras internasional. Selain itu, ia menilai proses impor juga memakan waktu lama, dari pembelian hingga distribusi.

Pasokan Pangan
Pekerja menata stok beras di Gudang Bulog Kanwil DKI dan Banten, Kelapa Gading, Jakarta, Kamis, 18 Maret 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Saat ini, pemerintah diimbau untuk fokus memastikan ketersediaan pasokan pangan. Selain sebagai upaya menjaga kestabilan harga, hal ini juga dapat meningkatkan penyaluran pangan melalui sembako dan bantuan pangan. Dengan demikian, diharapkan bahan pangan bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Pasalnya, berdasarkan survei Bank Dunia pada masa pandemi, tercatat 23% rumah tangga mengalami kekurangan pangan. Oleh karena itu, Felippa juga mendesak agar pemerintah menggunakan data yang akurat sebelum mengambil kebijakan impor.

Kemudian, peningkatan kapasitas petani beras dalam negeri juga dinilai patut dipertimbangkan. Penelitian yang dilakukan oleh International Rice Research Institute (IRRI) pada 2016 menemukan, ongkos produksi beras di Indonesia masih 2,5 kali lebih mahal dibandingkan dengan Vietnam.

Studi tersebut, lanjutnya, juga menunjukkan rata-rata biaya produksi satu kilogram beras di Indonesia sebesar Rp4.079, hampir 2,5 kali lipat biaya produksi di Vietnam yang sebesar Rp1.679.

Dibandingkan dengan negara lain, biaya tersebut juga lebih tinggi dua kali lipat biaya produksi di Thailand Rp2.291, India Rp2.306, Filipina Rp3.224, dan China Rp 3.661.

“Peningkatan kapasitas petani dalam negeri perlu ditingkatkan, supaya proses produksi beras lebih efisien dan berdaya saing,” tuturnya. (SKO)