Impor Ilegal Jadi Biang Utama, 60 Perusahaan Tekstil Gulung Tikar
- Akhirnya, sekitar 250 ribu karyawan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK)
Nasional
JAKARTA – Industri tekstil di Indonesia tengah mengalami penurunan yang tajam. Data dari Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menunjukkan, dalam dua tahun terakhir sepanjang 2022-2024, sebanyak 60 perusahaan tekstil terpaksa tutup.
Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta mengatakan, penutupan perusahaan-perusahaan tekstil ini dipicu oleh meningkatnya impor ilegal yang mengalir ke pasar domestik. Ini akibat tidak adanya kontrol ketat dari pemerintah.
Situasi ini telah memperburuk kondisi industri tekstil di Indonesia. Sektor yang sebenarnya sudah mengalami deindustrialisasi selama 10 tahun terakhir.
"Tahun 2024 sudah banyak pabrik yang tutup. Sekitar 60 perusahaan di sektor hilir dan tengah industri tekstil telah berhenti beroperasi. Akhirnya, sekitar 250 ribu karyawan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK)," ungkap dalam keterangan tertulisnya dilansir Rabu, 18 Desember 2024.
- Perbandingan PPN Indonesia dengan Negara ASEAN dan Global
- Berani Inovasi! Top 20 Finalis Wirausaha Muda Mandiri 2024 Siap Uji Karya di Tahap Akhir
- Jejak Kinerja Hero Global Investment (HGII), Emiten EBT yang Siap IPO Awal 2025
Saat pandemi COVID-19, pada tahun 2021, ketika impor dari China terhenti, industri tekstil Indonesia sempat mengalami pemulihan. Namun, begitu lockdown berakhir dan impor dibuka kembali, barang-barang ilegal pun membanjiri pasar, membuat banyak perusahaan terpaksa menghentikan operasional mereka.
Kondisi ini juga berdampak pada sektor-sektor terkait, seperti industri petrokimia dan produksi Purified Terephtalic Acid (PTA), yang merupakan bahan baku utama tekstil. Menurutnya, jika produksi PTA terganggu, permintaan listrik untuk sektor tekstil pun menurun.
Industri tekstil kata Redmas sangat penting bagi perekonomian Indonesia, dengan kontribusi 11,73% terhadap konsumsi listrik sektor industri dan 5,56% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Namun, sebagian besar pasar domestik kini dipenuhi oleh barang-barang impor ilegal yang menyebabkan kerugian bagi negara, baik dari sisi pajak maupun bea masuk.
“Impor ilegal menjadi pembunuh utama bagi industri tekstil Indonesia, dengan sekitar 40 persen barang yang masuk ke Indonesia tidak tercatat secara resmi,” tambahnya.
Redma meminta pemerintah segera mengatasi masalah impor ilegal ini untuk menyelamatkan pasar domestik dan memungkinkan industri tekstil lokal pulih. Bahkan, menurutnya, sektor ini bisa kembali menyumbang hingga 8 persen terhadap PDB jika masalah ini dapat diatasi.
Untuk itu, berbagai langkah harus diambil, termasuk pembatasan impor yang lebih ketat dan perbaikan sistem di pelabuhan. Adapun Redma turut menekankan pentingnya meningkatkan daya saing produk lokal. Dengan memanfaatkan potensi pasar domestik yang besar, Indonesia bisa menghidupkan kembali industri tekstil dan mengurangi ketergantungan pada impor.