Impor Logam Mulia dan Perhiasan Anjlok di Oktober 2022, Investor Lari ke Valas
- Penurunan impor logam mulia dan perhiasan tersebut dipengaruhi karena kurs mata uang utama.
Industri
JAKARTA - Neraca perdagangan Indonesia Oktober 2022 masih mengalami surplus yang sebesar US$5,67 miliar atau Rp88,29 triliun (kurs Rp15.500 per dolar AS).
Hal ini dikarenakan ekspor yang naik 12,3% secara year on year (Yoy) atau 0,13% dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan impor mengalami penurunan bila dibandingkan bulan September 2022 sebesar 3,4%.
Bila melihat dari sisi impor, impor migas Oktober 2022 senilai US$3,36 miliar, turun 1,81 persen dibandingkan September 2022 atau naik 77,23 persen dibandingkan Oktober 2021. Impor nonmigas Oktober 2022 senilai US$15,77 miliar, turun 3,73 persen dibandingkan September 2022 atau naik 9,56 persen dibandingkan Oktober 2021.
- Rudal Siapa yang Jatuh di Polandia?
- Tidak Butuh Gaji Tinggi, Ini 5 Langkah Jadi Jutawan di Usia 30 Tahun
- 4 Perusahaan Konstruksi Pelat Merah Pemilik Aset Terbesar Saat Ini
Penurunan impor golongan barang nonmigas terbesar Oktober 2022 dibandingkan September 2022 adalah logam mulia dan perhiasan/permata US$196,0 juta (35,97 persen).
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, penurunan impor logam mulia dan perhiasan tersebut dipengaruhi karena kurs mata uang utama.
"Karena saat ini banyak investor itu mengalihkan dananya di valas atau mata uang. karena dolar AS, Poundsterling dan Euro itu harganya hampir sama," ujarnya kepada TrenAsia.com, Kamis, 17 November 2022.
Menurutnya,dengan posisi ketiga mata uang tersebut hampir sama, membuat investor lebih memilih membeli mata uang secara cash di money changer. Hal ini wajar di saat investor-investor yang biasa menyukai logam mulia akan meninggalkan instrumen safe haven tersebut.
Selain itu karena valas, lanjut Ibrahim, penurunan impor di sektor logam mulia dan perhiasan juga dipengaruhi oleh harganya yang tinggi.
"Nah ini harus dilihat juga bahwa ini kemarin harga emas sempet naik sekira 6%, kenaikan ini besar," ujarnya.
Menurut Ibrahim, kenaikan harga emas yang cukup cepat tersebut diakibatkan rilis inflasi AS yang tidak setinggi ekspektasi. Hal ini memunculkan spekulasi bahwa kemungkinan besar fed akan lebih dovish lagi dalam menaikan suku bunga yang awalnya 75 bps, jadi 50 bps atau 25 bps.
"Akhirnya para spekulan berspekulatif untuk mengangkat harga emas setinggi tingginya, dan saya lihat bahwa pemain-pemain besar ini mengambil posisi taking point (TP) di US$1.800 per ons," ujarnya.