Impor Pangan Rumit, Ketahanan Pangan RI Berisiko
JAKARTA – Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menyatakan kebijakan impor yang rumit mengancam ketersediaan pangan dalam negeri. Pasalnya, ketahanan pangan Indonesia didukung oleh pasokan internasional seperti 55% kebutuhan gula nasional, 95% bawang putih, dan banyak komoditas penting lainnya. “Banyak analisis yang menggaungkan kebijakan swasembada untuk menjawab risiko perdagangan […]
Industri
JAKARTA – Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menyatakan kebijakan impor yang rumit mengancam ketersediaan pangan dalam negeri.
Pasalnya, ketahanan pangan Indonesia didukung oleh pasokan internasional seperti 55% kebutuhan gula nasional, 95% bawang putih, dan banyak komoditas penting lainnya.
“Banyak analisis yang menggaungkan kebijakan swasembada untuk menjawab risiko perdagangan global. Namun, kebijakan proteksionisme juga akan mengkonsentrasikan risiko pangan,” kata Felippa pada media, Selasa, 18 Agustus 2020.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Sebabagi contoh berlebihannya proteksi barang impor, masyarakat sempat menemui harga gula dan bawang putih yang tinggi akibat terlambatnya rekomendasi impor dan macetnya perizinan impor di awal pandemi COVID-19.
Menurutnya, ketahanan pangan Indonesia bakal lebih resilien jika didukung oleh diversifikasi sumber. Artinya, pemenuhan kebutuhan pangan domestik semakin diperkuat dan diimbangkan dengan impor pangan yang disederhanakan.
Proses Rumit
Sulitnya importasi pangan di Indonesia selama ini cukup rumit, menghabiskan waktu dan memakan biaya yang tidak sedikit. Importir harus mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Pertanian setelah memenuhi berbagai persyaratan, kemudian menunggu Surat Persetujuan Impor dari Kementerian Perdagangan.
Jika ternyata sumber impor harus diganti, maka importir harus mengajukan perubahan Surat Persetujuan Impor lagi dari Kementerian Perdagangan. Proses yang rumit dan tidak transparan ini akhirnya sering berbuah kekurangan stok pangan, meningkatnya harga dan bahkan potensi pelanggaran hukum seperti korupsi.
Bahkan, Kementerian Perdagangan mencatat adanya penurunan impor dari tahun ke tahun antara lain impor daging turun 27.45%, impor hewan 22.84%, dan impor buah dan kacang-kacangan turun sebesar 29.73%.
“Indonesia bisa mengambil satu langkah maju lagi dengan dengan memperkenalkan sistem lisensi impor otomatis yang bisa mengatur impor dengan lebih cepat dan transparan.”
Perbandingan Produktivitas
Penyederhanaan importasi ini menjadi penting mengingat produktivitas dan produksi pertanian Indonesia masih belum maksimal untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik. Data FAO menunjukkan Indonesia menghasilkan sekitar 5,1 ton beras per hektar di tahun 2018, lebih tinggi dibanding Malaysia di 4,1 ton per hektar dan Thailand 3,1 ton per hektar.
Namun, secara produktivitas masih lebih rendah dibandingkan Vietnam yang bisa menghasilkan 5,8 ton per hektar. Biaya produksi beras Indonesia pun 2,5 kali lebih mahal dibanding Vietnam.
Alhasil, kebijakan swasembada yang selama ini diharapkan belum dapat memenuhu kebutuhan pangan nasional. Untuk itu, pemerintah dapat membenahi sistem perdagangan pangan.
Tidak hanya itu, infrastruktur distribusi pangan juga semakin meningkat selama pandemi COVID-19 yang mendisrupsi sektor logistik. Menurut studi Bank Dunia, jarak suatu daerah dapat menjelaskan 70% dari perbedaan harga pangan.
“Berangkat dari krisis ini, Indonesia harus membenahi sistem pangan untuk meningkatkan ketahanan pangan yang resilien baik dalam kondisi normal maupun dalam krisis,” tegas Felippa.