Indonesia Berhasil Dorong Isu Ketahanan Pangan dan Pertanian Jadi Paket Kebijakan di WTO
- Indonesia berhasil menggalang dukungan politis dari negara-negara berkembang dan kurang berkembang untuk menyepakati isu-isu pertanian di Paket Kebijakan dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) World Trade Organization (WTO) ke-12 akhir tahun ini.
Dunia
JAKARTA – Indonesia berhasil menggalang dukungan politis dari negara-negara berkembang dan kurang berkembang untuk menyepakati isu-isu pertanian di Paket Kebijakan dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) World Trade Organization (WTO) ke-12 akhir tahun ini.
“Konsolidasi G33 diperlukan untuk menyelesaikan isu prioritas WTO dan mencari jalan keluar tentang ketahanan pangan (food security),” ujar Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dalam keterangan resmi, dikutip Minggu, 19 September 2021.
Rincinya isu yang akan diangkat adalah isu stok pangan (Public Stockholding/PSH), instrumen pengamanan impor produk pertanian pada Special Safeguard Mechanism (SSM), dan pemotongan subsidi pertanian yang mendistorsi perdagangan.
- Perluas Jaringan Pelabuhan, Krakatau Bandar Samudera (KIP) Gandeng IPCM
- Bukti BTS Mampu Tingkatkan Penjualan, Hoodie Kolaborasi BTS x FILA Laris Manis Terjual
- Awas! Sering Main Smartphone Sebelum Tidur Picu Gangguan Kesehatan Serius
Pertemuan ini merupakan inisiatif Indonesia sebagai koordinator kelompok G33 dan dihadiri para Menteri terkait perdagangan, Wakil Menteri, Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala, para Duta Besar, dan para pejabat senior negara anggota G33.
Menurut Lutfi, pertemuan ini menjadi momentum terbentuknya soliditas kelompok negara berkembang dan LDCs G33 di WTO untuk menyukseskan tercapainya kesepakatan isu pertanian pada KTM WTO ke-12.
“Perjuangan G33 ini adalah bentuk usaha melindungi kepentingan petani kecil dan miskin di negara berkembang, mewujudkan ketahanan pangan, keamanan penghidupan, dan pembangunan pedesaan,” jelas Lutfi.
Menurutnya, negara maju masih memberikan subsidi dengan nilai yang cukup tinggi kepada petani sehingga mendistorsi perdagangan global saat ini.
Perwakilan negara G33 secara umum menyampaikan pandangan agar negara berkembang dan negara kurang berkembang diberikan ruang kebijakan dalam menjamin ketahanan pangan dan untuk mempertahankan pertanian skala kecil sebagai sumber pendapatan masyarakat miskin.
Lutfi juga menyampaikan, Indonesia menekankan pentingnya mekanisme yang bersifat adil dan transparan bagi semua anggota WTO dan pemberlakuan perlakuan khusus untuk negara berkembang dan LDCs saat kondisi krisis seperti kelaparan, bencana alam, dan perubahan iklim.
“Hal ini menurut G33 menjadi alasan masih diperlukannya subsidi yang dapat diberikan bagi kelompok petani kecil dan miskin,” jelasnya.
Dirjen WTO Ngozi Okonjo-Iweala menyampaikan, KTM 12 mendatang menjadi penentu kredibilitas WTO dan keberhasilan negosiasi pertanian di KTM 12 akan bergantung pada kesolidan negara anggota G33 untuk mencari jalan keluar dari kebuntuan negosiasi pertanian.
“G33 perlu menyiapkan strategi utama dan cadangan jika kebuntuan masih terjadi untuk mencari terobosan,” katanya.
Menurut Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Djatmiko Bris Witjaksono, meskipun respons mayoritas anggota WTO terhadap SSM minim, instrumen tersebut tetap perlu dipertahankan.
Hal ini dikarenakan merupakan mandat Doha Development Agenda untuk melindungi produk pertanian karena fluktuatifnya harga pangan dan rawan banjir impor. Selain itu, instrumen ini juga dibutuhkan di saat pandemi.
“Terobosan dalam perundingan SSM dibutuhkan agar modalitas SSM lebih realistis dengan mengakomodasi berbagai kepentingan, namun tetap memberikan beberapa kelonggaran bagi negara berkembang dan LDCs,” tutur Djatmiko.