Indonesia Bidik Ekonomi Digital Rp4.500 Triliun, Permaisuri Belanda Ingatkan Keamanan Fintech
- Indonesia membidik sektor keuangan digital akan tumbuh delapan kali lipat sekitar Rp600 triliun menjadi Rp4.500 triliun pada 2030
Fintech
JAKARTA – Indonesia membidik sektor keuangan digital akan tumbuh delapan kali lipat sekitar Rp600 triliun menjadi Rp4.500 triliun pada 2030.
Permaisuri Belanda, Queen Maxima, yang juga adalah Advokat Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Keuangan Inklusif untuk Pembangunan mengatakan, kemajuan ekonomi digital Indonesia harus diimbangi dengan sistem keamanan yang tinggi.
“Kehadiran super-app, akan makin meningkatkan celah risiko. Para pemangku kepentingan harus terus memantaunya dengan memanfaatkan kemajuan teknologi untuk memitigasi risiko-risiko yang ada,” kata Queen Maxima dalam Indonesia Fintech Summit (IFS) 2021, dikutip Senin 13 Desember 2021.
- Disuntik Rp363 Miliar, Fuse Insurtech Perluas Ekspansi di Asia Tenggara
- Mendikbudristek Nadiem Dukung Hadirnya Inovasi Berbasis Pengurangan Risiko
- Perusahaan Batu Bara Milik Hary Tanoe, Bhakti Coal Resources Tunjuk 2 Kontraktor Baru
Antisipasi-antisipasi terhadap risiko ini, tambahnya, dapat dilakukan dengan kolaborasi erat antara pemerintah dengan asosiasi.
"Pemerintah punya peranan sangat penting untuk mengembangkan visi untuk masa depan dunia digital, termasuk mengidentifikasi tata kelola yang dibutuhkan dan infrastruktur yang dibutuhkan,” ujarnya.
Ia menambahkan, pemberian infrastruktur yang terstandardisasi akan sangat mendukung sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Salah satunya yang telah dilakukan di Indonesia dengan inovasi QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) yang diluncurkan pada 2019.
Selain soal keamanan, potensi ekonomi digital Indonesia juga punya pekerjaan rumah lain yaitu inklusivitas dan literasi keuangan. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2019 menunjukkan, Indeks Literasi Keuangan baru mencapai 38,03% dan Indeks Inklusi Keuangan 76,19%.
Angka ini berbanding jauh dari Singapura di angka 98%, Malaysia 85%, dan Thailand 82%. Tingkat inklusi tinggi dengan literasi rendah menunjukkan potensi risiko yang begitu tinggi.
- Indosat (ISAT) Resmi Membubarkan Dan Melikuidasi IM2
- Kampanyekan Energi Bersih, PLN Gelar Konvoi Kendaraan Listrik di Balikpapan
- Tertarik Jadi Influencer, Elon Musk Ingin Berhenti Kerja?
Karena, meskipun masyarakat memiliki akses keuangan, tetapi sebenarnya mereka tidak memahami fungsi dan risikonya. Peningkatan literasi menjadi kunci agar tingkat inklusi yang sudah terjadi bisa berdampak lebih produktif dengan risiko minim.
“Inilah yang jadi pekerjaan kita bersama, antara pemerintah dan asosiasi," komentar Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut B. Panjaitan dalam acara yang sama.